bakabar.com, JAKARTA - 15 Oktober adalah hari lahir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Menginjak usia ke-43 menjadikannya sebagai organisasi lingkungan tertua di NKRI.
Awal berdirinya, WALHI diprakarsai oleh beberapa universitas dan kelompok pecinta alam. Tepat tanggal 15 Oktober 1980, WALHI terbentuk dengan tujuan dapat membangun kesadaran akan pentingnya lingkungan.
Dengan harapan membantu menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan, WALHI percaya, kampus dan pecinta alam memiliki kedekatan sendiri dengan masyarakat untuk menyampaikan kepada pemerintahan.
"Pada fase awal gerakan WALHI itu berfokus membangun kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan," kata Zenzi Suhadi selaku Direktur Eksekutif Walhi pada apahabar, Minggu (15/10).
Tema HUT Ke-43 WALHI
Di hari jadinya ini, HUT WALHI Ke-43 diryakan bersama dengan 504 anggota, alumni serta seluruh komponen WALHI dalam mewujudkan refleksi dan peluncuran Ekosistem Ekonomi Nusantara tersebut.
Dengan hal ini WALHI berharap negara, masyarakat serta sipil harus segera melakukan refleksi untuk berevaluasi, berjalan seperti apa yang harus ditempuh untuk memenuhi cita-cita bangsa ketika dideklarasikan dahulu.
WALHI melihat bahwa negara belum sepenuhnya paham terhadap potensi rakyat serta alam. Melalui hal itu, mereka mengusung tema dalam peringatan hari jadi ke-43 yaitu 'Memimpin Perwujudan Cita-Cita Bangsa'.
"Selama 43 tahun ini berupaya untuk mengenali dan memahami persoalan yang ada di rakyat, dan keinginan dari mereka," ujar Zenzi.
WALHI mengalami lika-liku yang panjang sebagai organisasi yang terus menggaungkan kepedulian atas lingkungan. Sampai saat ini, WALHI masih teguh dalam pendirian untuk melindungi alam Indonesia beserta masyarakatnya.
Perjalanan WALHI selama Empat Dekade Berdiri
Pada Kamis malam itu, sebuah nama berhasil digagasi oleh Ir. Erna Witoelar pun berhasil diketok sebagai pertanda persetujuan diantara para anggota. Sehingga lahirlah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Hingga saat ini, WALHI telah memasuki dekadenya yang ke empat, bahkan menuju kelima. Beragam transformasi dilakukan untuk mengupayakan perlindungan dapat terlaksana, tak hanya didengar saja.
Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, menjadi awal transformasi pertama WALHI menjadi gerakan advokasi lingkungan. Harapannya, WALHI menjadi pelindung bagi masyarakat dan lingkungan.
"Jadi perlindungan terhadap lingkungan, serta perlindungan hak manusia atas lingkungan tersebut," tegas Zenzi.
Pada fase kedua ini, WALHI melahirkan sebuah gerakan masyarakat adat, yang dikenal sebagai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat ini. Dan kemudian melahirkan gerakan hukum lingkungan ICEL (Indonesian Centre for Environmental Law).
Organisasi Non-Pemerintah yang berbasis nilai-nilai demokrasi, HAM, keadaban, keberlanjutan, negara hukum (rule of law), dan tata kelola pembangunan berkelanjutan yang baik.
Pada tahun 1988, WALHI pertama kali mendapatkan pengakuan resmi oleh Majelis Hukum. Hal tersebut terlaksana karena WALHI berhasil menggugat Presiden Soeharto dalam kasus Indorayon di Sumatera Utara.
Di sisi lain, WALHI semakin gencar untuk mendapat pengakuan dan legalitas. Hingga akhirnya pada tahun 1997, legal standing atau hak WALHI sebagai organisasi tertuang dan diakui dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup Tahun 1997.
Mengawali awal tahun 2000 atau tahun revolusi, alias fase ketiga kehidupan WALHI. Mereka memulai berevolusi menjadi Gerakan Politik Lingkungan.
Gerakan ini untuk menyadarkan banyak pihak, bahwasanya kehancuran lingkungan terjadi bukan oleh masyarakat itu sendiri, namun kehancuran lingkungan tersebut diawali oleh putusan politik pemerintah.
Dengan transformasi tersebut, WALHI mulai membangun kesadaran publik untuk terus mendesak pemerintah dan negara, untuk melahirkan regulasi yang melindungi lingkungan.
WALHI Sekarang dan di Masa Depan
Dan saat ini, memasuki dekade kelima, WALHI melahirkan gebrakan baru dengan Ekonomi Nusantara.
"Setelah mendalami bahwa tiap keputusan politik yang berdampak pada lingkungan dan sosial, ternyata diawali oleh kepentingan politik," ujat Zenzi.
Menurutnya, kebijakan negara tersebut diambil atas dasar kepentingan ekonomi, dan melahirkan krisis besar di Indoesia.
Pertama, Krisis Lingkungan, hal ini ditandai dengan meningkatnya intensitas bencana serta perubahan iklim di Indonesia.
Kedua, Krisis Ketimpangan, dalam artian dalam rasio lahan di Indonesia, hanya 10% saja yang dimiliki oleh populasi masyarakat. Sedangkan sisanya bahkan tidak memiliki akses yang baik terhadap lahan tersebut, bahkan menyebabkan gugurnya nyawa seseorang.
Beberapa tahun belakangan ini, WALHI juga gencar menyuarakan kepeduliannya terhadap lingkungan, sebut saja IKN dan Food Estate di Kalimantan. Mereka dengan tegas menyampaikan penolakannya terhadap hal tersebut.
Dalam penolakan itu, dikatakannya bukan karena suatu pilihan, namun wajib dilakukan. Sebab mereka diundang setelah pemutusan terjadi, dan tidak adanya kajian dari aktivis lingkungan hidup.
Sehingga membuatnya kecewa dengan pemerintah yang tidak mengikutsertakan aktivis lingkungan pada kajian tersebut.
WALHI tidak akan berhenti sampai disini, dengan segenap tekad dan kecintaan pada masayarakat dan demi lingkungan yang lebih baik. Mereka turut menyuarakan dalam beberapa kajian mengenai lingkungan dan masyarakat.
WALHI juga berencana mengadakan Kongres Orang Muda Indonesia di tanggal 2 Oktober, sebagai sarana diskusi untuk merumuskan alternatif jalan ekonomi dan pembangunan Indonesia 2045.