bakabar.com, JAKARTA - Setiap tahun, tanggal 11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Peringatan ini bertujuan melindungi hak anak perempuan, termasuk mengatasi tantangan yang membatasi mereka dalam mengembangkan potensinya.
Hari Anak Perempuan Sedunia pertama kali diperingati pada 2012. Selama sepuluh tahun terakhir, memang telah terjadi perkembangan pada isu-isu yang penting bagi para anak perempuan.
Sayangnya, belum semua anak perempuan bisa menikmati hak-hak mereka. Masih banyak yang mesti menghadapi tantangan, baik untuk memperjuangkan hak pendidikan, kesehatan fisik dan mental, maupun perlindungan hidup tanpa kekerasan.
Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya tantangan bagi anak perempuan itu ialah pola asuh orang tua.
Tak sedikit yang masih berkiblat pada stereotip gender, sehingga memperlakukan anak mengikuti norma yang dikonstruksikan masyarakat Indonesia.
Akar Permasalahan Tantangan bagi Anak Perempuan
Memang tak dapat dipungkiri, dalam pertumbuhannya, anak perempuan kerap menerima pola asuh berbeda. Jurnal berjudul Bias Gender dan Pola Asuh Orang Tua pada Anak Usia Dini (2020) mengungkapkan bahwa orang tua cenderung memperlakukan anaknya berdasarkan gender.
Semisal, dalam memberikan mainan, anak perempuan umumnya diberikan alat nan feminin, seperti masak-masakan, boneka, dan rumah-rumahan. Sementara, permainan seperti sepak bola, mobil-mobilan, robot, dan sejenisnya hanya diperuntukkan bagi anak lelaki.
Selain itu, stereotip berbasis gender seperti ‘perempuan harus lemah lembut’ dan ‘perempuan harus dilindungi’ juga bisa membawa tantangan bagi kaum hawa ke depannya. Psikolog dari Lawrence University, Peter Glick, menilai stigma tersebut mesti dihilangkan.
Sebab, hal itu berpotensi membuat anak perempuan merasa lemah dan mudah minta bantuan dalam segala hal. Malahan, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah takut di kemudian hari.
Dampak Bias Gender dalam Pola Asuh Anak
Perbedaan itu, faktanya, bisa saja berujung mengurungkan potensi yang ada dalam diri anak perempuan.
Selain itu, juga dapat menumbuhkan kecemburuan, yang lantas berakibat anak akan membanding-bandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya
Tak berhenti di situ, berdasarkan penelitian Sofia dkk tersebut, perbedaan pola asuh berbasis gender pun dapat menumbuhkan rasa kurang percaya diri, iri hati, gangguan emosi, menjadi anak yang sulit diatur, sampai mengidap gangguan perilaku agresif atau hiperaktif.
Pengaruh bias gender dalam pola asuh anak bakal makin terlihat ketika dia beranjak remaja.
Mereka yang tak suka mendapat perlakukan berbeda berdasarkan gender semasa kecilnya, cenderung terlibat pergaulan bebas.
Kenakalan remaja itu terjadi akibat ketidakseimbangan pertumbuhan dan perkembangan bagi anak yang memiliki jiwa maskulin dan feminin.
Apabila dalam pengasuhan terjadi bias gender, maka dalam proses perkembangannya, anak-anak rentan melakukan kekerasan gender.
Jangan Kembangkan Pola Asuh Berbasis Gender
Alih-alih mengotakkan pola asuh berdasarkan gender anak, sebaiknya orang tua cukup mendampingi mereka mengembangkan potensinya.
Orang tua mesti mengingat bahwa anak-anak lahir sebagai blank state atau ‘kertas putih yang polos.’
Mereka lahir dengan pemahaman “semua manusia itu sama, semua gender itu setara.” Sebab itu, jangan mengotakkan mereka dalam stereotip gender yang sudah mendarah daging di Indonesia – justru, mulailah tanamkan konsep kesetaraan gender pada anak-anak.