bakabar.com, AMUNTAI – Almien Ashar Safari kembali terseret pusaran kasus megakorupsi sang ayahanda Bupati Hulu Sungai Utara nonaktif, Abdul Wahid. Disebut-sebut sebagai pemilik beberapa petak tanah.
Dugaan jika Wahid melakukan pencucian uang dari hasil suap fee proyek kembali coba dibuktikan KPK. Lewat sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (11/7), sejumlah nama hadir memberi kesaksian.
Kesaksian kali ini membahas aset-aset Wahid, salah satunya tanah dan sarang walet yang berlokasi di Palampitan. Aset ini disita oleh KPK pada medio Januari 2022 lalu. Saat itu KPK juga menyegel sebuah rumah di seberang kediaman Wahid di Paliwara. Termasuk sebuah klinik dua lantai di depannya.
Dalam sidang kemarin, KPK pun menghadirkan lima saksi guna membuktikan praktik-praktik penyamaran uang yang dilakukan bupati dua periode HSU tersebut.
"Sertifikat tanahnya atas nama putra Wahid, Almien Ashar Safari (Ketua DPRD HSU)," ungkap saksi Mega Erawati merujuk kepemilikan sebidang tanah bangunan.
Kala itu Mega mengaku menjual sebidang tanah seharga Rp170 juta kepada Wahid. Uang diserahkan oleh Ketua RT Sungai Malang, Amuntai bernama Hidayatullah Fikri.
Selesai mendengar kesaksian Mega, hakim yang diketuai Yusriansyah dengan dua hakim anggota Ahmad Gawi dan Arif Winarno memeriksa Muhidi. Sosok ini adalah pemilik bangunan sarang walet yang dibeli oleh Wahid pada 2016 silam. Nilainya mencapai Rp2,5 miliar lebih.
Butuh setahun lamanya bagi Wahid mencicil sebanyak 10 kali kepada Muhidi guna memiliki sarang walet tersebut. Cicilan pertama dibayar Rp420 juta. Selanjutnya, cicilan kedua Rp145 juta, cicilan ketiga Rp100 juta, cicilan keempat Rp235 juta, cicilan kelima Rp55 juta.
Muhidi mengungkapkan pada cicilan keenam dibayar Rp100 juta, cicilan ketujuh Rp180 juta, setoran kedelapan Rp170 juta, hingga kesembilan Rp300 juta. Terakhir, pelunasan Rp 820 juta.
Penunggu sarang walet yang ditugaskan Wahid bernama Ahmad Khairuraji mengakui jika bangunan sarang walet yang dibeli bosnya itu cukup produktif. Hasil panen dari sarang walet itu lalu disetor ke rekening atas nama dirinya di Bank BRI Cabang Amuntai.
"Saya setor hasil panennya saja, buku rekening bank dan ATM-nya ada di tangan Pak Wahid,” ujar Khairuraji, juga dalam kesaksiannya.
Lain halnya Tajuddin. Pemilik tanah di Paliwara satu ini mengaku didesak Wahid untuk menjualnya asetnya. Wahid bersikukuh memiliki tanah tersebut lantaran lokasinya cukup strategis. Yakni di seberang jalan Paliwara, Kota Amuntai.
Tak kuasa menahan desakan sang bupati, pada akhirnya Tajudin mau juga menjual lahan seluas 13×6 meter miliknya. Skemanya tukar guling dengan tanah Wahid yang tak jauh dari tanah Tajudin.
Selesai menghadirkan kesaksian itu, Tito Jaelani, jaksa dari KPK semakin yakin jika Wahid sengaja mengalihkan sejumlah aset ke sanak kerabatnya. "Ini jelas tindak pidana pencucian uang (TPPU) karena ada pengalihan hak atas tanah atas nama anaknya, Almien," ungkap Tito.
Oleh karenanya dalam sidang pekan depan, KPK bakal menghadirkan saksi ahli dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mendukung sederet fakta tersebut.
Sekadar pengingat, sejatinya Almien sudah beberapa kali diperiksa KPK selama penyidikan kasus Wahid bergulir. Baik di Gedung BPKP perwakilan Kalsel di Banjarbaru, Brimob Polda Kalsel hingga meminjam ruangan di Mapolres HSU di Amuntai.
28 Juni kemarin, Almien yang akhirnya dihadirkan jaksa KPK di persidangan, tak membantah adanya 13 sertifikat hak milik (SHM) tanah yang dikuasai sang ayah. Lima SHM belakangan diketahui atas nama Almien.
Gratifikasi Jabatan
Satu Lagi Wanita di Pusaran Bupati HSU Abdul Wahid Diperiksa KPK
Tak hanya fee proyek, Wahid diduga kuat juga menerima upeti dari bawahannya yang ingin mendapat jabatan strategis di Pemkab HSU.
Skandal jual-beli jabatan tersebut diungkap oleh Rohana yang ikut dihadirkan jaksa dari KPK. Hadir secara virtual sebagai terdakwa dari Lapas Teluk Dalam, Wahid menyaksikan secara saksama kesaksian dari istri Maliki, mantan anak buahnya yang lebih dulu divonis hakim itu.
Jaksa KPK mencecar Rohana soal setoran sang suami untuk meraih jabatan sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Kabupaten HSU.
"Memang benar, suami saya diminta terdakwa Abdul Wahid sebesar Rp500 juta untuk bisa jadi Kepala Dinas PUPRP HSU," ucap Rohana.
Rupiah setengah miliar itu, kata Rohana, didapat suaminya dari menjual mobil senilai Rp250 juta. Sisanya pinjam sana sini. “Pinjam dengan adik [kontraktor] Rp250 juta,” ujarnya.
Rohana bersaksi sudah jamak terjadi praktik jual-beli jabatan selama kepemimpinan Wahid di Pemkab HSU. Tidak menyetor, jangan harap naik jabatan.
“Saya sendiri untuk pindah ke dinas lain harus setor Rp10 juta," ungkap Rohana, kepala seksi (kasi) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten HSU ini.
Nyatanya, Maliki hanya sebatas diberi jabatan pelaksana tugas (plt) saja. Rohana pun mengungkapkan jika suaminya itu kecewa berat kepada Wahid.
Selesai kesaksian Rohana, giliran Wahid diberikan kesempatan hakim untuk bicara. Wahid membantah semua kesaksian Rohana.
"Tidak benar Yang Mulia. Tidak benar jika Maliki setor Rp 500 juta kepada saya. Termasuk, untuk sekadar mutasi ke dinas yang dimaksud harus bayar Rp 10 juta," tegas Wahid.