bakabar.com, BANJARMASIN – Marwoto berbicara blak-blakan di persidangan bupati nonaktif Abdul Wahid. Dia adalah Kasi Jembatan di Bidang Bina Marga, Dinas PUPRP Kabupaten HSU.
Marwoto dihadirkan sebagai saksi di sidang mega korupsi Kabupaten HSU yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin, Senin (9/5).
Selain Marwoto, ada tiga saksi lain yang dihadirkan. Kabid Cipta Karya, Abraham Radi, Kabid Bina Marga, Rachmani Nur, dan mantan ajudan Wahid, Abdul Latif.
Nama Marwoto tak asing lagi di kasus mega korupsi yang menyeret Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid sebagai terdakwa itu.
Meski jabatannya hanya selevel Kasi, Marwoto tampaknya tahu persis seluk beluk kasus ini. Kasusnya soal alur masuk duit komitmen fee yang diterima dari para kontraktor di Bidang Bina Marga.
Marwoto boleh dibilang menjadi orang kepercayaan Wahid. Mengkoordinir penerimaan duit yang diserahkan kontraktor salah satu tugas dari Wahid yang harus dilaksanakannya.
“Di Bina Marga 2019 komitmen fee yang diminta 10 persen. Kalau 2020 dan 2021 13 persen. Sesuai permintaan pak bupati,” ujarnya di persidangan.
Di persidangan yang dipimpin hakim ketua Yusriansyah itu, Marwoto membeberkan duit yang diterima dari para kontraktor di Bina Marga sejak 2019-2021.
Totalnya mencapai Rp18 miliar lebih. Duit yang diterima dari kontraktor hasil komitmen fee proyek sebagai besar diserahkan ke Wahid selaku bupati, sebagian lagi guna operasional.
Rinciannya di 2019, Marwoto mengaku pernah menerimakan duit Rp4,6 miliar lebih. Dari duit itu Rp2,5 miliar diserahkan ke Wahid.
“Sementara sisanya untuk operasional. Yang untuk bupati saya serahkan melalui Abdul Latif,” bebernya sembari dibenarkan Latif saat ditanya Jaksa KPK, Titto Zaelani.
Bergeser ke 2020, dengan komitmen fee proyek 13 persen total duit yang diterima dari kontraktor pemenang lelang semakin banyak. Totalnya Rp12 miliar lebih.
Dari duit itu yang diserahkan ke Wahid sebanyak Rp10,6 miliar. Sedang sisanya digunakan untuk operasional.
“Saya serahkan catatan Rp10,6 miliar lebih. Sesuai catatan yang saya berikan ke penyidik,” jelasnya.
Kemudian untuk 2021 Marwoto kembali menerima dari kontraktor sebesar Rp1,8 miliar. Namun duit tersebut tak diserahkan ke Wahid.
Di situ dijelaskan bahwa duit tersebut digunakan sepenuhnya untuk operasional. Di antaranya diberikan untuk instansi terkait.
“Duit itu untuk mengayomi sesuai arahan bupati. Sebagian lagi untuk perbaikan mobil dinas,” imbuhnya.
Lantas semua pernyataan Marwoto tersebut tak dibantah oleh saksi lain yang juga mengetahui soal penerimaan duit komitmen fee dari kontraktor.
Termasuk Abdul Latif, selaku orang yang menyerahkan duit ke Wahid. “Ada yang diserahkan langsung ke bupati. Ada yang saya letakkan di meja kerja,” kata Latif.
Seperti diketahui, Abdul Wahid menjadi terdakwa dalam kasus mega korupsi. Diduga dia merupakan aktor intelektual dalam kasus yang sebelumnya juga menjerat dua kontaktor, Marhaini dan Fachriadi serta mantan Plt Kadis PUPRP HSU Maliki sebagai terpidana.
Selain diduga melakukan korupsi, Bupati Kabupaten HSU dua periode itu diduga telah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU). Di mana sejumlah harta benda dan asetnya kini telah disita KPK, seperti rumah pribadi, apotek, poliklinik, yang diduga dibangun dari duit haram tersebut.