Hot Borneo

Emak-Emak Se-Kelayan Tolak Pindah Ibu Kota Kalsel: Ketulahan, Ketulahan!

apahabar.com, BANJARMASIN – Gelombang protes terhadap rencana pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan ke Banjarbaru terus mengalir…

Featured-Image
Protes disampaikan oleh forum RT/RW warga Kelurahan Kelayan Luar, Banjarmasin Tengah. Foto: Ist

bakabar.com, BANJARMASIN – Gelombang protes terhadap rencana pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan ke Banjarbaru terus mengalir di Banjarmasin. Teranyar, digaungkan oleh forum RT/RT Kelurahan Kelayan Luar, Banjarmasin Tengah.

Melalui sebuah video, mereka menyampaikan keberatan atas penetapan Pasal 44 UU Pemindahan ibu kota Kalsel yang berbunyi "ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarbaru".

“Kami menolak dan menggugat RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang digodok oleh Komisi II DPR RI Pasal ke-4 Bab 2 tentang pemindahan ibu kota Kalsel yang sudah diparipurnakan,” seru para warga yang didominasi emak-emak tersebut.

“Karena patut diduga adanya pasal selundupan dan tidak menyerap aspirasi masyarakat Kota Banjarmasin. Dan ini sebuah pengkhianatan sejarah kota Banjarmasin, maka MK harus berpihak kepada pihak yang benar, ketulahan, ketulahan, batalkan, batalkan,” ujar mereka seraya menyindir.

Kepada media ini, Lurah Kelayan Luar, Fadli Aulia mengaku telah mengetahui video tersebut. Menurutnya protes tersebut murni aspirasi warga.

“Mereka terkejut dengan adanya UU pemindahan ibu kota,” katanya dihubungi bakabar.com, Rabu (16/3).

Keberatan warga tersebut kemudian disikapi oleh Antropolog Universitas Lambung Mangkurat, Nasrullah. “Saya tidak menolak ataupun mendukung,” katanya dihubungi bakabar.com secara terpisah, Rabu (16/3).

“Tapi dari situasi yang berkembang menunjukan ada keterkejutan warga terkait UU itu,” sambungnya.

Keterkejutan warga, lanjut Nasrullah, merupakan ‘buah’ dari tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses penggodokan UU Provinsi terbaru.

Nasrullah melihat langkah pemerintah kota menggalang suara sejarawan, akademisi untuk menolak wacana pemindahan ibu kota, bisa diasumsusikan adanya celah kosong darisisi akademis dalam proses penggodokan UU.

“Mestinya pihak yang membuat UU, harus bisa beradu argumen dengan menjelaskan dari sisi akademis UU tersebut,” katanya.

Tak hanya bicara nilai sejarah dan akademis. Namun Nasrullah juga melihat jika Banjarmasin adalah kota yang budayanya sangat lekat dengan Kalsel.

“Saya ‘kan menulis buku biografi Pak Anang Ardiansyah, ada banyak lagu beliau yang mem-branding Banjarmasin sebagai ibu kota Kalsel,” katanya.

Banjarmasin menjadi kota paling bersejarah di Kalsel. Dilihat dari rekam jejaknya sebagai pusat Borneo di masa Kesultanan Banjar, era kolonial Belanda hingga kemerdekaan RI.

“Bukan saya mendukung atau menolak. Namun ini bisa menjadi celah argumen untuk menentukan kota mana yang pantas menjadi ibu kota Kalsel ke depannya,” tambahnya.

Di satu sisi, jika ibu kota pindah ke Banjarbaru, sebenarnya dapat membuat beban Kota Banjarmasin berkurang. “Di sisi lain, Banjarmasin kehilangan status ibu kota,” katanya.

Namun jangan dilupakan. Jika Banjarmasin nantinya tetap akan menjadi ibu kota, maka akan banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Misalnya, pengentasan persoalan banjir hingga tata kota Banjarmasin yang sudah mulai padat.

“Jangan hanya melihat aspek masa lalu, tapi gambaran Banjarmasin di masa akan datang harus juga dipikirkan,” katanya.

Forkot Kewalahan

Ramai-Ramai Gagalkan Pemindahan Ibu Kota Kalsel: Forkot Siap, DPRD Bulat

Sebagai pengingat, DPR RI dalam rapat paripurna, Selasa (15/2) resmi mengesahkan tujuh Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi menjadi Undang-Undang, salah satunya Provinsi Kalsel.

Adapun RUU yang disahkan menjadi UU yakni UU Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Utara (Sulut), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat (Kalbar). Namun, keberadaan Pasal 4 yang berbunyi "ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarbaru" belakangan menuai penolakan dari masyarakat luas dan pemerintah kota Banjarmasin.

Banyak pihak mulai ancang-ancang menempuh jalur sengketa di MK. Dari Dewan Kelurahan (DK) hingga Forum Kota (Forkot) Banjarmasin. Mereka bakal menggandeng Borneo Law Firm untuk menggugat UU Provinsi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Alhamdulillah, jiwa patriotisme urang [orang] Banjar bisa bersatu padu dan antusiasnya tinggi. Kami sampai kewalahan menerima surat dukungan dan pernyataan," kata Ketua Forkot Banjarmasin, Nisfuady dihubungi bakabar.com, Rabu (16/3).

Kondisi ini, menurutnya menjadi modal kuat untuk 'bertarung' di MK. Saat ini, beberapa dokumen sudah pihaknya kantongi. Misalnya, surat pernyataan warga yang menolak pemindahan ibu kota provinsi Kalsel ke Banjarbaru.

"Surat pernyataan itu disertai dengan identitas warganya," terangnya.

Kendati begitu, upaya menjegal dasar hukum pemindahan ibu kota Kalsel masih menemui jalan terjal. Seperti yang diakui oleh Direktur Borneo Law Firm (BLF), Muhammad Pazri.

Ada sejumlah alasan. Salah satunya, hingga kini lembar pengesahan UU Provinsi tersebut tak kunjung keluar. Karenanya, baik Pemkot, Forkot ataupun warga biasa, belum bisa mendaftarkan gugatan ke MK.

Dewan Kota-Forkot Banjarmasin sebelumnya sepakat bergandengan tangan dengan BLF untuk menggagalkan status pemindahan ibu kota provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

"Formulasi judicial review saat ini sudah kami garap sekitar 70 persen," kata Pazri, Selasa siang (15/3).

Menurut Pazri, UU Provinsi akan sah menjadi dan wajib diundangkan 30 hari pasca-persetujuan DPR RI. Kendati tak ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Itu sesuai UU 15/2019 Perubahan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, tercantum di Pasal 73 ayat (2).

Kemudian mengacu Pasal 9 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, permohonan uji formil diajukan maksimal 45 hari sejak UU atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Meski mengklaim sudah melakukan 70 persen persiapan untuk 'bertarung' di MK, Pazri juga masih enggan membeberkan lebih jauh dokumen apa saja yang dikantongi pihaknya.

Yang jelas, kata dia, minimnya partisipasi publik terhadap pembentukan UU Provinsi Kalsel dan pemindahan kedudukan ibu kota dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

"Alasan yang paling kuat ada pada proses dan tata cara pembentukan sudah sarat pelanggaran tidak berlandaskan filosofis, sosiologis, yuridis dan historis," pungkas jelas doktor hukum jebolan Universitas Sultan Agung Semarang ini. (Riyad Dafhi/Syaiful Riki)

Komentar
Banner
Banner