bakabar.com, MARABAHAN – Melalui pertemuan segitiga yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam, Senin (5/8) sore, polemik lahan perkebunan sawit PT Tasnida Agro Lestari (TAL) dengan warga Desa Jambu Baru, diselesaikan melalui tiga kesepakatan.
Pertemuan segitiga ini dihadiri Humas PT TAL, Soebagyo dan Abdalli, dengan 20 warga Jambu Baru di ruang sidang DPRD Barito Kuala (Batola).
Kemudian sebagai tuan rumah, DPRD Batola diwakili Syarif Faisal dan Saleh dari Fraksi Partai Golkar, serta Basrin dan Basuki dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ini merupakan pertemuan ketiga, terkait dugaan penyerobotan lahan seluas 30 hektare yang dilakukan PT TAL di kawasan Jambu Baru.
Diberi kesempatan pertama berbicara, Soebagyo mengklaim PT TAL sudah beraktivitas sesuai hukum yang berlaku.
Mulai dari izin lokasi, izin usaha perkebunan, hingga Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Balukung Kecamatan Bakumpai dan Desa Banitan di Kecamatan Kuripan.
“PT TAL memiliki yang HGU diterbitkan BPN Pusat tertanggal 23 Juli 2013 dalam empat sertipikat. Sertipikat pertama seluas 788,26 hektar, sertipikat kedua 1.087,01 hektare, sertipikat kedua 2.648,22 hektar dan sertipikat ketiga 3.634,47 hektar,” jelas Soebagyo.
“Dalam HGU tersebut, kami juga memiliki lahan di Jambu Baru. Namun tidak digarap, karena belum memiliki kesepakatan dengan warga setempat. Sekarang kami baru menggarap lahan di Banitan dan Balukung,” imbuhnya.
Terkait tudingan penyerebotan lahan, PT TAL dengan tegas membantah. Mereka mengklaim sampai sekarang masih beraktivitas di lahan HGU Balukung yang bersebelahan dengan Jambu Baru.
“Tentang lahan yang dipersoalkan, kami sudah berkoordinasi dengan pemilik lahan di Balukung sebelum pembebasan. Bahkan kepala desa dan camat sudah mengetahui,” tukas Soebagyo.
Namun alasan PT TAL tersebut tetap ditolak warga Jambu Baru. Dengan semangat menolak perkebunan sawit, mereka bersikeras agar PT TAL angkat kaki dari Jambu Baru.
Pun PT TAL dituding lalai, mengingat fakta bawah batas desa Balukung dan Jambu Baru sendiri belum benar-benar pernah dipetakan Pemkab Batola, jauh sebelum HGU diterbitkan.
“Kami juga mempertanyakan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) PT TAL, karena aktivitas mereka di Balukung berdekatan dengan desa kami,” seru Asliannor, salah seorang perwakilan warga.
“Sekarang setelah semuanya terjadi, kami hanya menginginkan PT TAL tak lagi menggarap lahan 30 hektar di Jambu Baru, sekaligus mengembalikan ekosistem di kawasan tersebut,” sambungnya.
Keinginan warga juga didukung anggota DPRD Batola, “30 hektar tersebut tidak sebanding dengan total lahan seluas 8.157,96 hektar yang menjadi HGU PT TAL,” sahut Syarif.
“Alangkah bijaksana kalau lahan 30 hektar tersebut direlakan saja, apapun hasil pemetaan ulang yang dilakukan Pemkab Batola. Kami juga merekomendasikan agar koordinat HGU di seluruh Desa Jambu Baru dipindah,” imbuhnya.
Keinginan tersebut sempat ditolak perwakilan PT TAL. Kendati bersedia mengembalikan lahan, mereka ingin lebih dulu menunggu hasil pemetaan ulang batas desa.
Akhirnya mereka luluh, setelah warga Jambu Baru kembali mengungkit kelalaian PT TAL terhadap lahan yang masih belum jelas, termasuk perbatasan desa.
Lantas disepakati tiga poin yang dinyatakan sebagai finalisasi polemik. Adapun poin kesepakatan tersebut adalah:
1. Masyarakat menolak seluruh kegiatan perkebunan kelapa sawit yang masuk wilayah Desa Jambu Baru.2. Areal yang sudah digarap kurang lebih 30 hektar harus dikembalikan PT TAL dalam kondisi semula.3. Apapun hasil dari penetapan tapal batas Desa Jambu Baru dan Balukung, lahan 30 hektar itu tidak boleh lagi digarap PT TAL.
Kesepakatan yang dibubuhi materai itu ditandatangani Soebagyo, serta Hajarul Aswadi, H Majedi dan Asliannor sebagai perwakilan Jambu Baru.
“Kami berharap polemik ini selesai dan PT TAL memegang komitmen terhadap kesepakatan tersebut,” tandas Nasrullah yang juga perwakilan warga Jambu Baru.
Baca Juga: PT TAL Harus Angkat Kaki dari Jambu Baru
Baca Juga:Polemik Batas Desa, Warga Jambu Baru Usir PT TAL
Baca Juga:Aktivitas PT TAL Disetop Sementara