Opini

Pesantren Darussalam Martapura dan Pertaruhan Anak Santri

(Refleksi 105 Tahun Darussalam) Oleh: Abu Zein Fardany DAHULU, ketika berkeinginan melanjutkan studi ke Martapura, ada…

Featured-Image
Ilustrasi, dua santri Pondok Pesantren Darussalam sedang melintasi jembatang penghubung antara desa Melayu dan Pekauman, akses menuju Pondok Pesantren tertua di Kalimantan Selatan tersebut.Foto-Net

(Refleksi 105 Tahun Darussalam)

Oleh: Abu Zein Fardany

DAHULU, ketika berkeinginan melanjutkan studi ke Martapura, ada kekhawatiran orangtua, siapa yang mengawasi saya. Bila sebelumnya orangtua merasa “aman” karena selagi menyantri di Hidayaturrahman (sekarang menjadi “Nurul Muhibbin”) di bawah asuhan KH. Muhammad Bakhiet yang menganut sistem boarding school, saya diawasi dan dibina dalam asrama, maka hal ini tidak berlaku lagi bila saya menyantri di Darussalam.

Darussalam, sebagai simbol pendidikan agama kota Martapura, berbeda dengan umumnya pondok pesantren yang santrinya tinggal di asrama dengan peraturan yang ketat, boarding school istilahnya.

Darussalam menganut sistem sekolah atau madrasah, di mana santri masuk pada jam pelajaran dan pulang setelah selesai. Karenanya pada awal pendirian (tahun 1914 M) namanya adalah “Madrasah Islam Darussalam” dan kemudian pada masa kepemimpinan Hadratusysyaikh Kasyful Anwar (1922 s/d 1940 M) ditasmiyahi menjadi “Madrasatul ‘Imad Fi Ta’limil Awlad Darussalam”. Baru pada masa kepemimpinan KH. Badruddin (1976 s/d 1992 M) Darussalam resmi dinamakan dengan nama “Pondok Pesantren”.

Istilah “Pondok Pesantren” terdiri dari dua kata “Pondok” dan “Pesantren”. Menurut KH. Abdurrahman Wahid “Pesantren adalah tempat di mana santri tinggal”.

Dr. Abdurrahman Mas’ud mendefinisikan dengan “refers to a place where the santri devotes most of hisor her time to life in and acquire knowledge”.

Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, secara definitif mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid/musholla sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. Kita tidak akan memperdebatkan definisi ini.

Karena menganut sistem madrasah atau sekolah, maka para santri tinggal di rumah sewaan, kost, ataupun asrama milik pribadi yang kadang di bawah pengawasan seorang kyai pengajar Darussalam (misalnya asrama Al-Manar di kawasan Antasan Senor yang berada di bawah bimbingan Abuya KH. Syukeri Unus).

Masalahnya adalah ketika santri tidak tinggal di asrama yang diawasi seorang Kyai, maka berbagai kemungkinan semisal terjangkit kenakalan remaja rentan terjadi. Karena seorang anak ketika memasuki usia pubertas akan mengalami masa yang dikenal dengan masa pemberontakan.

Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya.

Faktor pemicunya, menurut sosiolog Kartono, antara lain adalah gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang baik.

Di sinilah akarnya kenapa orangtua saya harus berpikir keras dan mempertimbangkan dengan matang untuk memberi izin saya “hijrah” ke Martapura.

Beruntung, kala itu saya berhasil meyakinkan bahwa saya ke Martapura tujuan utama adalah menyantri di Sekumpul, yaitu tinggal di kawasan “Kampung Santri” di mana penduduknya semuanya berjiwa santri karena kawasan Sekumpul adalah pemukiman yang dibuka oleh Abah Guru Sekumpul bersama murid-muridnya dengan semangat ilmu dan ibadah.

Tidak ada aturan baku memang, namun ada beban moral bagi siapa saja yang tinggal di Sekumpul bila tidak ikut tradisi setempat. Shalat berjamaah misalnya, tidak ada aturan tertulis seperti ketika saya tinggal di asrama pondok pesantren di mana siapa yang melanggar terancam hukuman digunduli rambutnya, tapi ada beban moral bagi siapa yang tinggal di kawasan Sekumpul namun tidak ikut shalat berjemaah di Ar-Raudhah seolah “bukan orang Sekumpul”. Kecuali itu, di Sekumpul sudah ada senior-senior saya yang lebih dahulu “hijrah” dan diharapkan kelak bisa ikut menjadi “valounteer” sebagai pengawas saya.

Pengawasan semacam ini sangat penting bagi remaja 'tanggung'. Karol Kumpfer dan Rose Alvarado, profesor dan asisten profesor dari University of Utah, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa diantara penyebab kenakalan remaja adalah kurangnya pengawasan terhadap anak (baik aktivitas, pertemanan di sekolah ataupun di luar sekolah, dan lainnya).

Tanpa pengawasan, seorang anak dituntut mampu mandiri dalam artian pandai memilih dan memilah pergaulan serta memutuskan mana yang lebih baik untuk masa depannya dan mana yang malah merugikan.

Memang dalam Islam, sedianya seorang yang telah baligh dan berakal (mumayyiz) mampu bertanggungjawab dalam setiap perbuatannya. Namun tidak semua anak sanggup seperti itu.

Beberapa malah terjebak pada budaya pergaulan yang mengarah pada kebebasan dan akhirnya terjerumus pada kenakalan remaja. Padahal usia ini adalah usia pertaruhan untuk masa depan anak.

Di sisi lain, model pendidikan Pesantren Darussalam adalah sebuah kesempatan seorang santri bisa memperluas kajian dan wawasan serta pengalaman hidupnya. Karena di Martapura sebagai kota ilmu banyak terdapat majelis-majelis ta’lim yang diisi para ulama dengan berbagai bidang ilmu.

Seorang santri Darussalam berkesempatan di luar jam sekolah menambah dan memperdalam ilmunya sesuai bidang yang diminatinya. Mau menjadi ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hadits, ahli ilmu alat, bahkan ahli tashawwuf, Martapura adalah pusatnya.

Ini adalah sebuah keberkahan tersendiri. Bahkan seorang santri bisa ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial dan menjadi seorang aktifis untuk memperkokoh jiwa sosialnya. Bisa ikut menjadi anggota organisasi ataupun valounteer di NGO. Ini kelak akan berdampak positif menambah pengalaman hidupnya.

Sebab itulah, sebelum orangtua memutuskan untuk menyantrikan anaknya di Darussalam, idealnya terlebih dahulu memastikan di mana anaknya tinggal, apakah di asrama yang dibina seorang kyai atau tidak.

Juga penting mengawasi baik secara langsung atau lewat bantuan orang lain, ke mana saja anak ikut talaqqi, menambah pelajaran di luar jam sekolah. Pun juga mengetahui lingkungan pergaulan anaknya.

Menyantri di Darussalam Martapura adalah sebuah pertaruhan, apakah seorang anak kelak akan menjadi ulama yang mumpuni, atau malah baca kitab kuning saja tidak mampu.

*Pondok Pesantren Darussalam dimaksud adalah pesantren lama (induk) yang tidak berasrama.

Baca Juga: Belajar dari Abah Guru; Memandang dengan Tatapan Cinta

Baca Juga: Palangka Raya: Jejak Rusia dan Kandidat Ibu Kota dari Masa ke Masa

img

Penulis adalah alumni Ulya 1998 dan Ma’had ‘Aly Darussalam angkatan pertama.

Editor: Muhammad Bulkini

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.



Komentar
Banner
Banner