bakabar.com, BALIKPAPAN – Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (Raperda RZWP3K) Kalimantan Timur mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil.
Raperda itu dinilai berpotensi mengambil alih serta menggusur ruang hidup warga di pesisir Teluk Balipapan.
Ya, berdasarkan UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap provinsi termasuk Kaltim diwajibkan membuat perda RZWP3K.
“Namun Perda ini dikhawatirkan akan menjadi pembenar untuk merusak bentang ekologi Teluk Balikpapan yang memiliki keunikan serta keanekaragaman hayati (biodiversity),” terang Husein Suwarno, anggota Aliansi Nelayan Tradisional Kaltim, kepada bakabar.com, Sabtu (20/7).
Agar gaung penolakan makin terdengar, Aliansi Nelayan Tradisional berencana menggelar aksi di perairan Teluk Balikpapan, esok.
Menggandeng masyarakat pesisir Dayak Paser, konvoi kapal termasuk pembentangan spanduk penolakan bakal dilakukan. Termasuk ‘ngelarung rakit’, ritual adat sebagai wujud syukur terhadap Teluk Balikpapan.
“Itu sebagai bentuk tolak bala agar Teluk dan nelayan terlindungi dari aktivitas yang mengganggu,” jelas anggota Pokja Pesisir dan Nelayan Balikpapan ini.
Selain melibatkan kelompok nelayan, aliansi tersebut juga berasal dari unsur-unsur organisasi di luar pemerintahan, seperti Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pokja, Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (Stabil) Balikpapan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, SAKSI, dan Kiara.
Mereka, kata Husein, sudah berupaya agar ruang hidup di pesisir termasuk wilayah tangkap nelayan di Teluk Balikpapan tetap dipertahankan.
“Namun pengurus negara tetap memaksakan dan seakan memberi karpet merah terhadap ruang DLKR dan DLKP [Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan) dan menghapus ruang tangkap nelayan Teluk Balikpapan,” jelas dia.
Lampiran Peta dalam RZWP3K tampak memperlihatkan dengan jelas sepanjang Teluk Balikpapan dari muara hingga ke hulu-nya adalah wilayah DLKP dalam kewenangan KSOP Balikpapan.
Namun Tim Penyusun dokumen RZWP3K, kata Husein, berdalih penetapan DLKP telah ada sejak lama berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan.
“Menurut hemat kami, semestinya Pemprov Kaltim sebagai tuan rumah yang berdaulat dalam mengatur tata ruang laut-nya sendiri dalam dokumen RZWP3K ini,” jelas dia.
Jika kemudian ada kepentingan nelayan tradisional yang hak-hak dasarnya tumpang tindih dengan wilayah DLKP-DLKR ini, maka Gubernur harus tegas.
Meminta kepada Menteri Perhubungan untuk melakukan evaluasi pengaturan DLKR-DLKP. Sehingga bisa menjadi dasar bagi penetapan pengaturan pola ruang laut dalam dokumen RZWP3K Prov Kaltim.
Jika hal itu tak dilakukan, maka Peta dalam RZWP3K dinilai akan menjadi dasar yang buruk bagi pengaturan tata ruang laut khususnya di Teluk Balikpapan.
Perda RZWP3K ini dinilai mengancam keberlangsungan hidup bagi warga di sejumlah perkampungan nelayan. Seperti, Kampung Baru, Somber, Kariangau, di Kota Balikpapan.
Dan, delapan Kampung di PPU seperti Buluminung, Geresik, Jenebora Pantai Lango, Maridan Sepaku, Semoi dan Mentawir.
“Sekitar 3.000 warga dari dua kawasan ini akan terganggu wilayah tangkap mereka sebagai nelayan tradisional yang tidak terakomodir secara resmi dalam dokumen RZWPK3,” sambung Husein.
Padahal dalam keseharian, secara nyata mereka disebutkan mencari ikan, udang, kepiting, teripang dan hasil laut lainnya dalam kawasan Teluk Balikpapan.
Berdasarkan kondisi di atas, jika dipaksakan dokumen RZWP3K Kaltim itu untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, mereka khawatir berpotensi mengganggu, mengancam dan berakibat pada ekosistem dan masyarakat Teluk Balikpapan.
Pertama, sumber makanan protein hewani seperti Ikan, Kepiting, Udang, Tripang, Siput, tiram dan tudai yang menjadi andalan nelayan Teluk, terancam akan terganggu dengan limbah kegiatan industri dan pelabuhan.
Hal ini akan berdampak serius bagi industri perikanan dari Teluk Balikpapan yang selama ini disuplai ke kota Balikpapan dan Penajam Paser utara.Dipengaruhi oleh Teluk Balikpapan yang memiliki karakteristik tertutup.
Tidak ada sungai besar yang mengalir dari hulu dengan pola arus keluar ke perairan Selat Makassar yang hanya bergerak dari hulu ke hilir dan terus ikut pasang surut air laut. “Dengan demikian sedimentasi tidak keluar dari Teluk Balikpapan,” jelas Husein.
Kedua, sedimentasi akan mengancam bukan hanya produksi laut tetapi juga sistem perhubungan kapal. Begitu juga pembukaan lahan hutan untuk industri di Das Teluk Balikpapan diyakini bisa menghasilkan 7 ton sedimentasi per hektare per tahun. Sedangkan kegiatan reklamasi pantai dengan cara “cut and fill” menghasilkan tingkat erosi dan sedimentasi yang jauh lebih tinggi.
Selain itu, Teluk Balikpapan saat ini disebutkan sudah relatif dangkal. Sekitar 2-10 meter saja. Hanya bagian sempit dari dasar laut di dekat pantai Kariangau cukup dalam, sampai 40 meter (telah dilakukan pengukuran pada tahun 1998-1999 oleh Coastal Resources Menegement Project Kalimantan Timur-CRMP). Tetapi, kata Husein, tingkat sedimentasi di daerah tersebut bisa mencapai 1-2 meter per tahun.
“Dan pada 2009 kedalaman air di pesisir Teluk Balikpapan Teluk Waru yang hanya 22 meter yang sebelumnya kedalaman tersebut mencapai 30-40 meter,” jelas dia lagi.
Ketiga, 16 persen dari luasan Teluk Balikpapan ada dalam daerah pola terpapar ancaman bencana, dengan keterangan kemiringan lereng relatif curam sampai dengan sangat curam dengan kondisi tanah yang sangat rentan terhadap erosi, tingkat genangan tinggi.
Sedangkan untuk kawasan industri yang berada di tengah-tengah Teluk Balikpapan sendiri, 77 persennya adalah daerah terancam bencana.
Keempat, hilangnya keanekaragaman hayati seperti hutan primer, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. “Daerah ini masih merupakan habitat sejumlah fauna langka,” sebut Husein.
Sebut saja, Beruang Madu, Macan Dahan, Bekantan, Pesut, Dugong, Buaya Muara, dan Penyu Hijau.
Di Teluk Balikpapan, masih bisa ditemukan lebih dari 100 jenis mamalia, sekitar 300 jenis burung, lebih dari 1.000 jenis pohon. Bahkan, populasi Bekantan sekitar 1.400 ekor adalah salah satu di antara 6 populasi Bekantan yang tersebar dan merupakan sekitar 5% dari Bekantan di seluruh Pulau Kalimantan.
Sedangkan populasi pesut pesisir berjumlah 60-80 ekor dan Duyung. Jumlah jenis Mangrove di Teluk Balikpapan mencapai 40 jenis, yaitu hampir separuh dari semua jenis yang tercatat dari Asia.
“Sebagian dari hutan Mangrove di Teluk Balikpapan adalah hutan primer dengan pohon lebih dari 20 meter tinggi, yang langka ditemukan di kepulauan Borneo,” terang Husein.
Ekosistem tadi, kata dia, memainkan peran ekologis untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan, layanan fungsi alam, perubahan iklim. Juga, penanggulangan bencana, ekosistem esensial, energi dan ekonomi berkelanjutan.
Karenannya, mereka mendesak gubernur Kaltim memperhatikan kepentingan nelayan tradisional dalam penyusunan perda RZWP3K. Termasuk melindungi ekosistem wilayah tangkap nelayan.
Kemudian, agar ketua DPRD Kaltim tidak menetapkan Perda RZWP3K sebelum pengaturan wilayah tangkap nelayan tradisional terakomodir dengan baik dan adil.
Sedangkan, untuk Menteri Perhubungan RI agar mengevaluasi kebijakan penetapan DLKP-DLKR yang dinilai tumpang tindih dan tidak memerhatikan kepentingan wilayah tangkap nelayan tradisional setempat.
Baca Juga:Iduladha 1440 H, Kaltim Surplus Hewan Kurban
Baca Juga:Calon Haji Jangan Menghilang dari Rombongan
Editor: Fariz Fadhillah