bakabar.com, BANJARMASIN - Basirih dikenal sebagai kampung keramat karena keberadaan makam Habib Hamid bin Abbas Bahasyim. Namun hal itu bukan menunjukkan bahwa pendatang dari Arab atau Banjar yang pertama kali menghuni wilayah tersebut.
Menurut Ketua Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur mengungkapkan, berdasarkan karya M idwar Saleh (1971), Sungai Basirih dulunya didiami oleh Suku Dayak Ngaju.
Baca Juga:Konflik Manusia dan Bekantan di Kalsel Belum Mereda
Terdapat Keunikan dari Suku Dayak Ngaju wilayah ini, yakni mereka berprofesi sebagai penanam dan penjual sirih. Suku Dayak tersebut berprofesi sebagai penanam dan penjual sirih.
"Pada awalnya mereka menanam sirih di tepi sungai kosong belum bernama, yang menjadi anak Sungai Martapura," katanya.
Jumlah tanaman sirih yang makin banyak di tempat tersebut menjadikan wilayah itu disebut warga dengan "Sungai Basirih" yang berarti Sungai bersirih atau ada sirih di sekitar sungai tersebut.
Komunitas Suku Dayak Ngaju ini kemudian mendirikan sebuah kampung. Karena terletak di tepi Sungai Basirih, maka dinamakan kampung Basirih. Nama kampung ini pun melekat sampai sekarang.
"Masyarakat Dayak Ngaju yang membangun Kampung Basirih ini diperkirakan berasal dari wilayah Kalimantan Tengah (Mandomai)," jelas Dosen Universitas lambung Mangkurat Banjarmasin itu.
Kemungkinan besar, sambung Mansyur, Suku Dayak Ngaju yang datang Kalimantan Tengah itu tidak hanya menempati Basirih, tapi juga di wilayah yang kemudian dinamakan Bagau.
Pada abad ke 18 hingga 19 M, kebiasaan Ngayau (tradisi berburu kepala yang dilakukan suku dayak) dan sebagainya belum dapat dihapuskan di wilayah Borneo. Karena itu, kadang-kadang kebiasaan ini menjadi ancaman keamanan kampung-kampung di Karesidenan Borneo bagian selatan dan timur (sekarang Kalimantan Tengah).
Kondisi tidak aman ini, membuat penduduk kampung Mandomai Kalimantan Tengah dan keluarganya pindah ke Banjarmasin. Kampung Mandomai yang dimaksud diperkirakan berada di Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sekarang.
"Sayangnya belum ada sumber, siapa pimpinan “Migran” dari Suku Dayak yang jadi penduduk awal di Sungai Basirih ini," tutur Mansyur.
Menurut riset Abdul Kadir (2017), lanjut Mansyur, masyarakat Dayak Ngaju memang termasyhur dengan kebiasaan menanam sirih. Sirih adalah bagian dari tradisi orang Ngaju dan sangat cocok ditanam pada lingkungan alam yang banyak mengandung air. Sirih disebut-sebut sebagai tanaman asli Nusantara.
Tanaman ini tumbuh merambat pada media seperti tiang pancang kayu, bahkan pohon tanaman lain. Sirih biasa dimanfaatkan dalam acara-acara adat dan dikunyah bersama dengan pinang, kapur dan gambir. Tradisi yang selain ini dapat dijumpai di banyak tempat, mulai dari Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
"Tradisi mengunyah sirih pada masyarakat Dayak Ngaju bertujuan untuk menguatkan gigi dan rahang," kata Mansyur.
Mansyur melanjutkan, Kampung Basirih pun menjadi termasyhur dikenal di wilayah Borneo bagian tenggara, sebagai daerah penghasil komoditas sirih.
Pada lokasi sekitar kawasan Basirih memang terdapat beberapa anak sungai yang menjadikan daerah ini subur dan tidak kekurangan air sehingga cocok untuk membudidayakan sirih yang potensial sebagai komoditas dagang lokal maupun komersial.
Kawasan Basirih juga begitu luas, memiliki anak sungai yang banyak serta memudahkan komunitas masyarakat Dayak Ngaju dalam mengembangkan komoditas ini.
Kadir (2017) juga memaparkan, sambung Mansyur, kondisi Sungai Basirih (sekarang di wilayah Kecamatan Banjarmasin Selatan) pada masa lalu, memiliki panjang puluhan kilometer dan lebar 20 meter. Melalui sungai ini masyarakat Ngaju membuka akses transportasi lewat sungai sampai ke pedalaman.
"Terdapat wilayah yang disebut dengan Antasan Basirih sekarang, dulunya bernama Antasan Batalian. Pada bagian hulu Kampung Basirih dulunya ada sebuah tanjung dan disebut orang dengan nama Pulau Sari. Pulau Sari adalah salah satu tempat ataupun wilayah penanaman sirih berskala besar. Pulau Sari berada di pinggiran Sungai Martapura, anak sungai Barito," ungkap Mansyur.
Hal inilah kemungkinan yang menjadi alasan masyarakat Ngaju untuk menanam sirih di pinggiran-pinggiran sungai dan muara yang dekat dengan sungai Barito dengan alasan akses lebih mudah untuk memperjual-belikan komoditasnya.
Dalam sumber kolonial Belanda, Mansyur mengutip Tijdschrift voor Neerland’s Indie (Jurnal Hindia Timur) yang terbit tahun 1838.
Penelitian itu mencatat, dalam tiga jam perjalanan melewati sungai Barito akan mencapai wilayah Kampung Banjar. Cuma sebelumnya akan melewati wilayah Kampung Dayak (Daijaksche Campongs) yakni Besserie (Basirih), Bagaauw (Bagau) dan Bahauer (Bahaur), yang terletak di tepi sungai.
Pada jurnal tersebut juga dipaparkan, di tahun 1838 kampung-kampung di wilayah ibukota Banjarmasin (Kota Gubernemen) adalah Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong, dan Dekween yang meliputi Kampung Gayam, Banyiur, Antasan Kecil, Rawa Kween, Binjai, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kelayan Besar, Bagau, Bahaur, Basirih dan van Thuijl. Jumlah penduduknya sekitar 3000 jiwa.
"Dalam kamus bertitel Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie, yang terbit tahun 1861 kemudian direpro ulang VJ Veth tahun 1869, juga memaparkan wilayah Besserie (Basirih) adalah kampung utama yang menjadi wilayah Banjarmasin," pungkasnya.
Baca Juga:Kisah Gadis Muda asal Kandangan, Sempat Koma dan Gunakan Kursi Roda usai Kecelakaan
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini