bakabar.com, BANJARMASIN - Pasca dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966, kondisi Indonesia "bergemuruh". Pasalnya, surat yang berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Supersemar pun menjadi surat sakti yang kemudian dijadikan dasar untuk melucuti PKI (Partai Komunis Indonesia).
Lantas, apakah terjadi pembantaian anggota PKI seperti di Jawa?
Pengamat Sejarah sekaligus Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur S.Pd, M.Hum menjelaskan, kondisi di Banjarmasin berbeda, lebih aman, bahkan minim kekerasan.
"Mengingat, keberadaan Nahdatul Ulama (NU) merupakan faktor penting tidak terjadinya kekerasan antar masyarakat sipil di Kalimantan Selatan ketika pecah peristiwa politik pada tahun 1965 dan disusul Supersemar tahun 1966," terang Mansyur.
Mansyur mengutip, dalam tulisan Hairus Salim dan Hajriansyah, Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni, kondisi di Kalimantan Selatan relatif tidak terjadi kekerasan antar masyarakat sipil pada tahun peralihan politik tersebut.
Memang ada penangkapan-penangkapan dan kemudian juga penahanan-penahanan tanpa pengadilan seperti yang dialami Misbach Tamrin dan Toga Tambunan. Akan tetapi berbeda dengan di beberapa daerah di Jawa, Bali atau bahkan Kalimantan Tengah. Kondisi di Kalsel tidak terdapat kondisi seperti perburuan, penyerangan, penangkapan, atau bahkan pembantaian masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lainnya.
“Dalam hal ini para aktivis PKI dan atau yang dianggap terkait dengannya, tidak ada istilah 'dibon' seperti yang terjadi di Jawa,” jelasnya.
Baca Juga: Kondisi Banjarmasin Pasca Supersemar (1), 'Petinggi' PKI Dihukum Mati
Minimnya kekerasan itu, kata Mansyur, karena faktor di kalangan masyarakat Banjar saat itu sangat kuat ikatan kekeluargaan.
Hal ini juga dijelaskan dalam tulisan Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni. Kekeluargaan yang diikat dengan nama bubuhan, artinya anggota keluarga besar. Beberapa orang Banjar sendiri banyak yang aktif di PKI atau pun organisasi yang dekat dengannya. Jadi kekerabatan ini mampu mencegah kekerasan.
Selain itu, menurut Mansyur, orientasi keagamaan orang Banjar sangat moderat. Kebanyakan mereka orang NU. Jadi NU dan juga peran Tuan Guru di Martapura yang sangat dihormati masyarakat setempat saat itu, punya pengaruh besar tidak terjadinya kekerasan.
Menurut Toga dalam buku tersebut, bahwa sebelum ia tertangkap ia sempat bersembunyi dari satu daerah ke daerah lain di pelosok Kalimantan Selatan dan bertemu dengan banyak orang. Toga yakin mereka tahu siapa dia sebenarnya, tetapi mereka seperti tidak peduli. Bahkan sebagian ada yang membantu, tambahnya.
"Memang Kalimantan Selatan tercatat sebagai basis Partai NU di luar Jawa saat itu, bahkan hingga kini. Ketua Umum NU saat itu adalah KH. Idham Chalid yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tak heran kalau di Kalimantan Selatan NU merupakan partai terbesar pada tahun 1965 itu," jelas Mansyur.
Baca Juga: Keluh Kesah Dayak Meratus di Hari Masyarakat Adat Nasional 2019
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini