Tak Berkategori

Menengok Kelenteng Sutji Nurani Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN – Keberagaman suku dan agama sudah tertanam jauh di dalam diri warga Banjarmasin. Itu…

Featured-Image
Kondisi di dalam Kelenteng Sutji Nurani. Foto-apahabar.com/Robby

bakabar.com, BANJARMASIN – Keberagaman suku dan agama sudah tertanam jauh di dalam diri warga Banjarmasin. Itu terlihat dari banyaknya jumlah tempat ibadah yang berdiri megah, salah satunya Kelenteng Sutji Nurani yang letaknya persis di persimpangan Jalan Veteran dan Jalan Merdeka, Banjarmasin Tengah.

Kelenteng Sutji Nurani ini sudah jadi tempat ibadah umat Konghucu berusia satu abad sejak berdiri 1898 silam.

Saat berkunjung ke Kelenteng Sutji Nurani, rasanya bagai berkelana ke awal mula kedatangan masyarakat Tionghoa di Banjarmasin. Mereka datang karena perdagangan melalui jalur sungai.

Oleh sebab itu, pemukimannya cenderung terkonsentrasi di sepanjang Sungai Martapura, seperti Veteran, gedangan dan RK Ilir. Komunitas Tionghoa tersebut kemudian mendirikan sebuah kelenteng.

Jelang Imlek tahun ini, suasana seakan sudah terasa. Ketika berkunjung ke sana, kala kaki kanan melangkah masuk gerbang Kelenteng Sutji Nurani, indera penglihatan langsung disuguhkan dengan puluhan tanglong atau lampion bercorak Tionghoa.

Puluhan tanglong itu tampak menggantung pada seutas tali. Tak terlalu besar, hanya seukuran kepala.

Warnanya pun khas mencolok. Yakni merah dan kuning. Menyatu dengan warna bangunan.

Bangunannya nampak jelas ketika melintasi Jembatan Merdeka.

Aroma dupa sudah tercium wangi. Wanginya menyengat pertanda tempat itu sakral dan keramat.

Khususnya penganut agama Konghucu turunan Tionghoa yang sejak zaman kolonial tinggal di Kota Seribu Sungai.

Kelenteng Sutji Nurani memiliki empat pintu. Tiga pintu sebelah Barat dan satu pintu bagian Selatan.

Tiga pintu sebelah Barat terdapat ornamen sosok salah satu Dewa yang sedang menggenggam kapak.

Ia disebut Dewa Pintu. Dipercaya sebagai penjaga kelenteng dari energi jahat yang ingin merusak.

Ruang ibadah cukup luas. Berukuran kurang lebih 30×20 meter. Terdapat ratusan lilin berjejer mempercantik ruangan.

Warnanya merah. Ukurannya pun beragam. Mulai dari seukuran 3 meter sampai dengan 1 jengkal.

Terdapat pula puluhan patung dewa-dewa memenuhi sudut ruangan ibadah.

Dewa-dewa itu senantiasa jadi wadah menampung doa para jemaah. Seperti Dewa Thein Khung, Kwan Im Niang-Niang, Thein Sang Se Mu, Cu Sen Niang Niang, Kwang Kong, Fu The Cen Sen, San Ciau Cu Se, Tai Swi dan Men Sen.

“Dewa itu merupakan sosok dewa yang selalu mengabulkan doa atau permintaan umat Tionghoa di Banjarmasin,” ucap umat Tionghoa di Banjarmasin, Sukiman kepadabakabar.com, Jumat (1/2).

Baca Juga:Kelenteng Soetji Nurani Siap Sambut Tahun Baru Imlek 2570

img

fu the cen sen kelenteng sutji. Foto-bakabar.com/Robby

Di atas meja satu buah piring putih berisikan 5 buah apel, 5 buah jeruk dan 1 buah nanas madu tersusun rapi.

Buah tersebut memilik makna aman, makmur dan sentosa. Sesuai dengan asa di tahun baru Imlek tahun ini.

Suasana tempat ibadah ini terasa sejuk. Walau terkadang pernafasan seakan terganggu lantaran asap dupa kian mengepul. Untungnya, atap di tengah bangunan terbuka.

Bukan tak mempunyai tujuan, tetapi dipercayai asap tersebut langsung sampai ke langit. Asap itu dinilai membawa doa umat Tionghoa kepada sang Dewa. Sehingga dewa mendengar doa umatnya. Lalu turun ke bumi untuk mengabulkannya.

“Jadi kenapa bangunan itu dibiarkan terbuka, semua itu sudah direncanakan,” tegasnya

Baca Juga:Begini Sejarah Masuknya Konghucu di Banjarmasin

Dewa Dewa itu dinilai masih belum meninggal dan sampai detik ini masih ada di hati umat Tionghoa.

Kelenteng ini dianggap sebagai saksi sejarah keberadaan warga Tionghoa di Banjarmasin. Saat ini, kelenteng tersebut menjadi salah satu bangunan cagar budaya.

Kelenteng Suci Nurani hingga kini mempertahankan keindahan arsitektur yang melekat di berbagai sudut kelenteng seakan tak lekang dimakan waktu.

Reporter: Muhammad RobbyEditor: Ahmad Zainal Muttaqin



Komentar
Banner
Banner