News

YLKI Sebut 88 Juta Masyarakat Mengalami Ketidakadilan Ekologis

apahabar.com, JAKARTA – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan sebanyak 88 juta masyarakat mengalami…

Featured-Image
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi. Foto: Minanews.net

bakabar.com, JAKARTA – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan sebanyak 88 juta masyarakat mengalami ketidakadilan secara ekologis. Jumlah tersebut di antaranya terdiri 26 juta masyarakat miskin dan 62 juta masyarakat rentan miskin.

"Memang di dalam masalah subsidi energi khususnya subsidi BBM itu memang banyak kebijakan yang absurd dan salah kaprah dan baik pada konteks regulasi, ideologi dan juga ekonomi. Bahkan tidak adil secara ekologis," kata Ketua Harian YLKI dalam dalam diskusi publik yang disiarkan secara daring di kanal YouTube PIPAMAS, Senin (19/9).

Ia menyoroti ketidakadilan ekologis tersebut karena pemerintah yang turut menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement), lalu meratifikasinya menjadi Undang-Undang dinilainya tidak konsisten berkomitmen mengurangi emisi karbon. Sebab, BBM berkontribusi terhadap 70 persen emisi karbon.

Tulus menilai target pengurangan emisi karbon hingga 40 persen cenderung sangat tinggi. Sementara itu, standar Research Octane Number (RON) Pertalite sebesar RON 90 RON masih lebih rendah dibandingkan standar ramah lingkungan minimal sebesar RON 92 dan CN 51 untuk jenis solar. Adapun standar RON di ASEAN sebesar RON 94 dan standar RON Eropa sebesar RON 96.

"Makanya sebenarnya apa pengendalian BBM bersubsidi itu memang sesuatu yang adil asal diimplementasikan dengan instrumen-instrumen yang baik. Nah di sini saya melihat pemerintah masih gamang masih apa masih ambigu," ujarnya.

Tulus menerangkan meski saat ini tren minyak mentah dunia mengalami penurunan, ia meminta agar harga minyak tidak kembali diturunkan ke harga awal. Bila itu dilakukan, menurutnya harga minyak dalam negeri akan dibebaskan ke pasar.

"Karena menganggap sudah aman. Ini kan selalu berulang-ulang kan kalau terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia kita panik ya. Tapi kalau nanti turun kemudian kita kembali lagi padahal tren ke depan energi fosil, apalagi minyak itu sudah sangat terbatas," pungkasnya.



Komentar
Banner
Banner