Politisi Golkar ini menilai tak masuk akal jika bando dianggap membahayakan para pengendara yang melintas di Jalan Ahmad Yani saat kecepatan yang tinggi.
"Kalau situasi sulit ini keselamatan bando, maka auditlah konstruksinya dulu. Kalau aman, lalulah berpikir penegakan hukum," pungkasnya.
Anang lebih sepakat dengan DPRD Banjarmasin yang memberi rekomendasi agar pembongkaran bando-bando milik pengusaha reklame itu ditunda dulu.
"Berpikir tentang hal strategis di kota kita yang juga penting, bahkan fundamental seperti sampah di jalan-jalan itu bertentangan dengan Undang Undang (UU) dan agama," katanya.
Sementara, Anggota DPRD Banjarmasin, Sukhrowardi menilai rekomendasi pihaknya menunda sementara waktu penertiban baliho sudah cukup pas. "Bisa menjadi pintu masuk penyelesaian polemik ini," ujarnya, terpisah.
DPRD Banjarmasin sudah meminta Pemkot menunda sementara waktu rencana pembongkaran bando. Dasarnya, kesepakatan antara Wali Kota Ibnu Sina dengan pemilik bando dalam rapat gabungan Komisi I dan II belum lama tadi. Juga hadir ketua pengurus periklanan dan SKPD terkait, seperti Kabag Hukum, Dinas Perizinan terpadu, hingga Satpol PP, dan Dinas PUPR Banjarmasin. Termasuk ketua DPRD, dan wali kota Banjarmasin sendiri.
"Saat ini raperda penyelenggaraan reklame yang baru sedang dalam masa pembahasan, yang mana merupakan penyempurnaan dari Perda sebelumnya," ujar Sukro mengutip surat rekomendasi.
Sukro sepakat jika Permen PU Nomor 20/2010 dan Perda Banjarmasin Nomor 16/2014 tentang reklame melarang keberadaan bando. Hanya saja, menjadi rancu ketika Perwali Nomor 23/2016 pasal 7 huruf c justru membolehkan keberadaan bando di jalan.
"Jadi rencana pembongkaran bando tersebut sebaiknya ditunda dulu, banyak pekerja dan buruh yang bakal terdampak, apalagi ini masih pandemi," ujarnya.
Lantas, perlukah gerbang batas kota turut dibongkar buntut polemik bando? Pengamat kebijakan publik sekaligus mantan kepala Dishub Banjarmasin, Ichwan Noor Chalik menentang pernyataan Anang Rosadi.
"Beginilah kalau seseorang asal bicara," ujarnya. "Kalau mau bicara atau mengeluarkan pendapat baca dulu peraturan perundangan yang berlaku," sambung mantan kepala Satpol PP Banjarmasin yang baru purnatugas ini.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud Ichwan terutama PP nomor 34 dan Permen PU nomor 20 Pasal 18 untuk reklame dan Pasal 28 untuk bangunan gedung.
"Jelas yang dilarang melintang jalan itu adalah bangunan yang berfungsi untuk reklame dan media informasi, sedang bangunan gapura atau pintu gerbang diperbolehkan dengan harus mendapat izin terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan," ujarnya.
Ichwan kemudian menerangkan sederet alasan reklame dan media informasi dilarang melintang jalan. Selain konstruksinya yang dicap sering asal-asalan, juga banyak yang roboh, dan dianggap lebih membahayakan pengguna jalan.
"Tidak konsentrasi pada saat berkendara karena melihat, membaca dan memperhatikan iklan yang ditayangkan sehingga risiko kecelakaan sangat besar," ucapnya.
Selain itu, ia menyebut bahwa iklan yang melintang itu posisi tegak lurus dengan pengendara yang melintas. Situasi tersebut membuat pengendara cenderung memperhatikan papan reklame ketimbang jalan di depannya.
Apalagi, lanjut Ichwan, misalnya gambar atau informasi yang ditayangkan sangat menarik, hal itu barang pasti menarik perhatian pengguna jalan apalagi pengendara.
"Tujuan iklankan harus seperti itu supaya dibaca dan dilihat orang, sedangkan gapura tidak menyampaikan informasi apa-apa," pungkasnya.
Kepala Satpol PP Banjarmasin, Ahmad Muzaiyin menilai tidak ada yang salah dengan keberadaan pintu gerbang Banjarmasin. Adapun fungsi bando dan pintu gerbang batas kota sangatlah berbeda. "Pengaturan khusus untuk iklan dan media informasi sudah diatur," singkatnya secara terpisah.
Asosiasi Pengusaha Periklanan Seluruh Indonesia (APPSI) Kalsel sempat membawa kasus pembongkaran bando ini ke Polda Kalsel. Hasilnya, gugatan APPSI gugur. Wali Kota Ibnu Sina langsung tancap gas menginstruksikan jajarannya melanjutkan pembongkaran seperti semasa kepemimpinan Ichwan Noor Khalik di Satpol PP.
"Kami sudah memberikan arahan ke tim teknis untuk menertibkan baliho dan insya Allah mereka secepatnya menindaklanjuti," ujarnya, Kamis (26/8) lalu.
Kasat Pol PP Banjarmasin Muzaiyin mengaku telah menyampaikan SP 3 pada Kamis kemarin. Keluarnya SP 3 ini setelah pengusaha advertising disebut tidak merespons SP 2 sebelumnya.
"Sesuai tahapan, lanjutan dari SP 1, SP 2 dan sekarang SP 3," tegasnya.
Pemerhati Kebijakan Publik, Muhammad Pazri memandang sudah saatnya Pemkot Banjarmasin mencari win-win solution untuk mengakhiri polemik pembongkaran bando ini. Pihak yang tidak setuju reklamenya dibongkar silakan kembali menempuh upaya hukum.
"Supaya jelas, fungsi gerbang dengan bando itu tidak sama. Beda dengan bando, gerbang tidak ada kewajiban ke pemerintah untuk membayar," ujar direktur Borneo Law Firm ini.
Pazri melihat dasar Pemkot Banjarmasin membongkar bando-bando itu sudah cukup kuat. Mulai dari perwali hingga peraturan menteri seperti yang sudah disebutkan di atas.
"Serta katanya adanya surat dari kapolresta Banjarmasin tanggal 10 April 2017 Nomor B/795/IV/2017 perihal baliho melintang di jalan," ujarnya.
Keberatan merupakan langkah pertama yang dapat ditempuh dalam upaya administratif, baik kepada pejabat yang menetapkan kebijakan maupun pemerintah yang melakukan tindakan.
Jika secara tertulis; batas waktu pengajuan keberatan adalah 21 hari kerja sejak diumumkannya keputusan tersebut oleh penerbit keputusan;
Penyelesaian keberatan maksimal 10 hari kerja; jika keberatan tidak diselesaikan dalam 10 hari kerja, keberatan dianggap dikabulkan; jika keberatan dianggap dikabulkan, penerbit keputusan/tindakan menerbitkan keputusan baru sesuai keberatan dalam waktu 5 hari kerja. Sampai banding administrasi
"Bisa juga dengan mengajukan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad) ke PTUN Banjarmasin berdasarkan Perma 2 Tahun 2019," pungkas Pazri..
Adu Argumen Perlukah Gerbang Batas Kota Banjarmasin Dibongkar Buntut Polemik Bando?