Nasional

Waspada Bahaya Praktik Pengantin Pesanan ke Desa

apahabar.com, JAKARTA – Koalisi Perempuan Indonesia mengingatkan bahaya modus pengantin pesanan hingga ke desa-desa di Indonesia….

Featured-Image
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Anwar Maarif (kanan) bersama Ketua DPC SBMI Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) Mahadir (kiri), Pengacara Publik LBH Jakarta Oki Wiratama (kedua kanan) dan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Monica (kedua kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (23/6/2019). LBH Jakarta bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran mengatakan sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan (pengantin pesanan). Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA – Koalisi Perempuan Indonesia mengingatkan bahaya modus pengantin pesanan hingga ke desa-desa di Indonesia. Sosialisasi bahaya tindak pidana perdagangan orang ini dirasa perlu dilakukan pemerintah.

Sebelumnya, sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat jadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan atau pengantin pesanan.

“Pengantin pesanan memang merupakan salah satu bentuk perdagangan orang yang harus ditangani serius,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari saat dihubungi Antara, Jakarta, Jumat.

Lewat Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO, pemerintah seharusnya melakukan beberapa langkah strategis. Termasuk bekerja sama dengan Mendagri dan Menteri Desa meminta kepala desa mensosialisasikan bahaya praktik pengantin pesanan.

Gugus tugas ini nantinya juga mesti memperkuat kerja sama dengan imigrasi untuk melakukan pemantauan dan pencegahan TPPO. Kemudian, pemerintah juga harus mendorong diplomasi antar pemimpin negara untuk melakukan upaya bersama pencegahan perdagangan orang, termasuk melalui praktik pengantin pesanan.

Sebelumnya, 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau itu direkrut untuk dibawa ke negara calon suami di China dengan cara dibujuk rayu menikahi laki-laki dari keluarga kaya, diiming-imingi sejumlah uang, dan dijamin hidupnya.

Pernikahan fiktif itu hanya sebagai kedok, justru 29 perempuan Indonesia itu mengalami kekerasan hingga eksploitasi di China.

Terpisah, Psikolog Wiene Dewi dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) menjelaskan, psikologis korban TPPO ini harus terpantau secara berkala. Baik untuk pemulihan optimal sehingga mereka bisa termotivasi untuk bangkit dan berjuang untuk hidup lebih baik dan produktif.

“Keadaan emosinya harus dipantau secara berkala untuk memastikan tidak terjadi trauma,” kata Wiene, dikutip dari Antara.

Wiene memandang korban tersebut sebagai pejuang (survivor) dan mereka harus didampingi secara intensif oleh psikolog klinis dan tenaga medis.

“Mereka harus diperlakukan dengan hangat oleh para tenaga tersebut. Dengan penerimaan yang hangat diharapkan akan muncul rasa aman dan nyaman sehingga rasa percaya diri dan harga diri akan tumbuh kembali,” ujarnya.

Para korban juga harus diberi penguatan setelah mereka kuat maka mereka akan siap kembali ke masyarakat. “Beri mereka lahan kegiatan yang bermanfaat, baik buat dirinya maupun untuk lingkungan, supaya harga diri (self esteem) mereka terbangun kembali dan mereka merasa dibutuhkan,” katanya.

Wiene menambahkan pendekatan agama sangat penting untuk menguatkan diri mereka secara spiritual.

Baca Juga: "Seandainya Semua Orang Paham Kesetaraan Gender"

Baca Juga:Kepala Bappenas: Pemindahan Ibu Kota Tambah Nilai Ekonomi di Sektor Nontradisional

Baca Juga: Senyum dan Sikap Kenegarawan Prabowo Pasca-Sidang MK

Editor: Fariz Fadhillah

Komentar
Banner
Banner