bakabar.com, BANJARMASIN – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel gamang akan rencana kepindahan pusat pemerintahan ke Kalimantan Selatan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono belum memutuskan sepakat atau tidak dengan wacana menjadikan Kalsel sebagai DKI Jakarta baru.
“Bukan hanya gamang. Prasyarat dan kasus-kasus yang ada masih belum diselesaikan,” jelas Kis kepada bakabar.com. Aspek lingkungan hidup jadi prasyarat utama pemindahan ibukota ke Kalsel.
Sebabnya, Walhi menilai Tanah Bumbu (Tanbu) menjadi kandidat kuat calon Jakarta baru, bersama Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, dan Palangkaraya di Kalimantan Tengah, tak memiliki daya dukung lingkungan yang memadai.
“Di Tanbu, 79 persen wilayahnya sudah dibebani izin tambang (63%) dan Sawit (16 %),” ucap dia.
Dari 3,7 juta hektar total luas lahan di Kalsel, nyaris 50 persen di antaranya sudah dikuasai oleh perizinan tambang dan kelapa sawit.
Dengan demikian, kata Kis, Kalsel bisa dikategorikan darurat ruang dan bencana ekologis. Daripada itu, aspek lingkungan Kalsel tak memenuhi salah satu prasyarat menjadi ibukota baru.
Jika dipaksakan, kata dia, sama saja memindahkan permasalahan banjir dan kepadatan penduduk, dari Jakarta ke Kalsel.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menilai beban Jakarta untuk menjadi ibukota sudah terlalu berat. Demikian dengan Pulau Jawa. Sudah terlampau sesak akan pertumbuhan penduduk. Sama seperti Jakarta, tingkat kemacetan di Jawa juga sudah cukup kronis
Konflik agraria dan tenurial, lanjut Kis, menjadi persoalan lain yang tak kalah penting. Belakangan ini tren kasusnya cenderung meningkat.
Dalam 10 tahun terakhir ini, Walhi Kalsel mencatat ada 30 konflik SDA, agrarian dan lingkungan hidup. Konflik terjadi hampir di semua kabupaten di Kalsel. Umumnya, dipicu pertambangan batu bara dan perkebunan sawit.
“Konflik Agraria dan Tenurial di Kotabaru dan Tanah Bumbu juga masih banyak yang belum selesai.
Belum lagi para mafia tanah,” jelas dia.
Walhi mencatat sekitar 90 persen dari puluhan konflik tadi, melibatkan perusahaan besar swasta, aparat, dan pemerintah. Pola konflik yang terjadi biasanya terjadi berulang, serta melibatkan pelaku, dan korban yang sama. (*)
Di Kabupaten Tabalong, terjadi dua konflik tambang (PT. Adaro) dan 1 konflik sawit (PT. CPN).
Di Balangan, terjadi dua konflik tambang (PT Adaro), 1 oleh perkebunan sawit, dan 1 tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat (Dayak Pitap) dengan tuduhan telah merambah kawasan hutan.
Di Hulu Sungai Utara, terjadi konflik dengan Izin perkebunan sawit (PT HJL dan PT SSB).
Di Hulu Sungai Tengah, terjadi dua konflik ekspansi sawit (PT GAL dan PT GNL) dan 2 ekspansi tambang (PT AGM dan PT MCM).
Di Hulu Sungai Selatan ada 3 konflik ekspansi sawit PT. SAM
Di Kabupaten Tapin, 3 konflik sawit (PT SLS, PT PAS, PT. KAP)
Di Kabupaten Banjar, 1 pencaplokan tanah dan pencemaran akibat tambang batubara PT TAJ, dan dalam kawasan hutan / KPH
Di Kabupaten Barito Kuala, pencaplokan tanah pertanian oleh perkebunan sawit PT.BPP dan PT. JAL
Di Kabupaten Tanah Laut, 2 konflik dengan perkebunan sawit (PT KJW dan PT Amanah)
Di Kabupaten Tanah Bumbu, 2 konflik dengan tambang batubara (PT Mofatama), dan 1 dengan HPH/HTI PT Kodeco berujung kepada kriminalisasi Ativis/Masyarakat Adat
Adapun di Kabupaten Kotabaru terjadi penggusuran oleh PT MSAM/Inhutani II dan Konflik Tambang Sebuku Group.
Sebelumnya, pro dan kontra mengiringi rencana pemerintah pusat menjadikan Kalsel sebagai DKI Jakarta baru. Sebagian masyarakat adat Dayak Meratus menyambut hangat rencana tersebut. Sebagiannya lagi, merasa was-was.
Baca Juga: Korban Jiwa Berjatuhan di Pumpung, Walhi Desak Paman Birin Ambil Langkah Luar Biasa
Lantas, pada sisi lain, amankah lingkungan hidup di Kalsel jika Tanah Bumbu jadi Jakarta Baru?
Kepada bakabar.com, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade mengatakan terdapat ketakutan akan kerentanan terjadinya pergusuran atas hak kelola masyarakat adat Meratus.
“Lahan yang diperlukan untuk ibu kota kan sangat luas. Sehingga sangat rentan terhadap tergusurnya tempat tinggal masyarakat adat Dayak Meratus,” ucap Juliade.
Seperti diketahui, Kalsel lewat pemerintah provinsi menyatakan kesiapannya menjadi calon ibukota baru. Lahan tak kurang dari 300.000 hektare di Tanah Bumbu untuk menarik minat pemerintah pusat pun disediakan.
Masyarakat adat, kata Juliade, justru khawatir pemindahan itu akan berdampak terhadap tergusurnya budaya masyarakat adat Dayak Meratus. Bukan hanya itu, menjadikan Kalsel sebagai ibu kota tentu mengancam eksistensi masyarakat adat.
Sampai kini, keberadaan masyarakat hukum adat Meratus tak kunjung diakui negara. Sejumlah organisasi lingkungan hidup di Kalsel, seperti Aliansi Masyarakat Adat (Aman), Walhi, juga LPMA Borneo Selatan mendorong pengakuan MHA sebagai syarat pengakuan hutan adat di pegunungan Meratus.
Bersama tiga kepala daerah lain, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor bertandang ke Kantor Staf Presiden untuk berdiskusi mengenai rencana pemindahan ibukota negara.
Dalam kesempatan itu, Birin menawarkan pembangunan infrastruktur dan keindahan alam pegunungan Meratus kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.
Pemprov Kalsel mengklaim, lahan 300 ribu hektar yang diusulkan telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalsel Tahun 2015-2035. Artinya, pembangunan nantinya tak mengganggu kawasan lain. Seperti kawasan hutan dan pertanian masyarakat.
Baca Juga: Banding Gugur, Walhi: Bahaya Mengintai Meratus
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah