apahabarcom, PALANGKA RAYA - Putusan bebas terhadap PT Kumai Sentosa oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng) atas perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dapat tanggapan serius.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho, mengatakan bahwa majelis hakim dalam memutus perkara No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu, tidak mendasarkan pada aspek kerugian lingkungan yang terungkap pada fakta-fakta persidangan.
Hal ini menurutnya mencerminkan lemahnya perlindungan lingkungan hidup di Kalteng. Bakan lanjut dia, dapat menyebabkan rentannya hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat.
Putusan No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu jadi pertanda yang tidak baik bagi penegakan hukum lingkungan di Kalteng.
Di mana putusan ini, lanjut dia, bisa dimaknai sebagai bekal perusahaan lain dari jerat hukum, sedangkan masyarakat umum divonis bersalah.
“Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa peristiwa kebakaran tersebut peristiwa bencana alam atau force majeur merupakan pertimbangan yang kami anggap keliru. Karena hakim tidak mempertimbangkan unsur kelalaian dari PT Kumai Sentosa yang tidak memadamkan api kebakaran pada saat masih kecil sebelum membesar dan meluas sehingga tidak bisa dikendalikan,” kata Aryo dalam rilisnya kepada bakabar.com, Senin (22/2/2021).
Aryo menilai putusan hakim PN Pangkalan Bun sangat berbeda jauh dengan putusan lainnya, khususnya yang bersentuhan dengan masyarakat.
Pada 2019 hingga 2020, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dalam memutus perkara kebakaran lahan. Yang menjadi terdakwanya adalah masyarakat. Terdapat 17 kasus dan semuanya diputus bersalah dan mendapatkan vonis hukum penjara.
Sementara, Ketua Walhi Kalteng Dimas Hartono, menerangkan bahwa vonis bebas yang diberikan kepada PT Kumai Sentosa tersebut dikhawatirkan menjadi justifikasi yang dilakukan korporasi jika terlibat karhutla.
Dalam ini ini korporasi akan selalu beralasan jika kerusakan lingkungan yang disebabkan karhutla bukan berasal dari wilayahnya.
“Jika kita melihat dari UU Lingkungan hidup, korporasi bertanggungjawab menjaga wilayahnya dari perusakan lingkungan,” terangnya.
Dimas menuturkan kasus karhutla yang melibatkan korporasi di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak termonitor atau terpantau luas oleh publik. Sehingga menyebabkan tidak adanya tekanan secara maksimal.
“Tekanan dalam hal ini bukan menganggu proses hukum, namun lebih mengarah ke prinsip terbuka dan transparan,” tambahnya.
Seperti diketahui, kasus ini berawal pada Agustus 2019 bertempat di areal konsesi izin usaha perkebunan (IUP) PT Kumai Sentosa yang berada di Desa Sungai Cabang, Kotawaringin Barat, Kalteng.
Karhutla terjadi pada lahan yang berada di Blok 41, 40, 39, 38, 37, 36,35, 34, 33, 32 dan 31 yang merupakan lokasi pembukaan lahan (land clearing) dan penanaman kelapa sawit milik perusahaan PT Kumai Sentosa dengan luas kebakaran lahan mencapai 2.600 hektar.