UMKM Hijau

UMKM Hijau, PT Alam Siak Lestari Terapkan Bisnis Ramah Lingkungan

Menjawab tantangan perubahan iklim, mulai banyak UMKM bertransformasi menjadi 'hijau'.

Featured-Image
PT Alam Siak Lestari (ASL) dari Kabupaten Siak, Provinsi Riau merupakan salah satu UMKM hijau yang mampu berkembang dan memberikan kontribusi ekonomi yang siginifikan pada masyarakat sekitar, serta memberikan dampak pada pemeliharaan lahan gambut di Siak. Foto: PT.ASL

bakabar.com, JAKARTA - Menjawab tantangan perubahan iklim, mulai banyak UMKM bertransformasi menjadi 'hijau'. Hal itu selaras dengan survei Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (2021) yang dilakukan terhadap 1.073 pelaku UMKM.

Hasilnya hampir 90% dari total responden UMKM telah menerapkan praktik bisnis ramah lingkungan. Disamping itu, akses pendanaan UMKM hijau sudah mulai dilakukan oleh para investor, dan diperkuat dengan adanya dorongan pada perbankan swasta dan BUMN.

PT Alam Siak Lestari (ASL) dari Kabupaten Siak, Provinsi Riau merupakan salah satu UMKM hijau yang mampu berkembang dan memberikan kontribusi ekonomi yang siginifikan terhadap masyarakat sekitar, serta memberikan dampak pada pemeliharaan lahan gambut di Siak.

Pendiri & Direktur PT Alam Siak Lestari, Musrahmad mengungkapkan sebagai UMKM hijau, ASL berfokus pada budidaya ikan gabus dengan metode tambak ikan gabus di kawasan hutan gambut di Kabupaten Siak. Metode itu dapat melestarikan lahan gambut dengan cara memperkecil risiko kebakaran gambut dengan menjaga lahan gambut agar tetap basah.

Baca Juga: Dukung UMKM Go Global, Indonesia-Korsel Sepakat Bangun Ekosistem ICT

"PT ASL mengambil keputusan untuk bereksperimen budidaya dan ekstraksi ikan gabus dengan fokus kepada produk turunan kesehatan lewat program program HEAL (Healthy Ecosystem Alternative Livelihood) Fisheries,” ujar Musrahmad.

Setiap bagian tubuh ikan gabus dimanfaatkan secara maksimal. Ikan gabus sendiri mengandung albumin dan banyak protein lain seperti omega 3 dan omega 9. Beberapa dari produk yang bisa dihasilkan adalah protein balls, kukis dan tepung ikan gabus, daun kelor dan gula aren.

Adapun kapasitas produksi PT ASL, kata Musrahmad, diproyeksikan mencapai 1,5 ton pada akhir tahun 2023. "Omset diprediksi dapat menembus Rp 1,5-2 miliar di sisa tahun ini," ujarnya.

PT ASL menerapkan skema kepemilikan saham yang di dimiliki oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), di mana saat pembagian dividen, masyarakat desa akan menerimanya melalui BUMDes.

Baca Juga: Dorong Kepercayaan BUMDes, Mendes: Harus Ada Pendampingan OJK

Kedepannya, Musrahmad berharap eksistensi budidaya ikan gabus di Siak akan memperkokoh motivasi dan konsistensi warga desa untuk memelihara gambut agar tetap basah, terutama jika ada mata pencaharian menjanjikan dari hasil olahannya.

Supernova ecosystem

PT ASL merupakan salah satu binaan Supernova Ecosystem dalam program Konstelasi Accelerator. Supernova Ecosystem Sebagai katalisator yang membantu investasi berdampak dalam membantu akses pemodalan UMKM Hijau, seperti PT ASL.

Founder Supernova Ecosystem Inez Stefanie mengungkapkan saat ini akses terhadap modal atau investasi untuk UMKM hijau perlu terus dibuka agar investasi berdampak dapat berkembang.

"Kami mempunyai target membina 30 unit usaha dalam program Konstelasi Accelerator dan program Equatora Capital dalam tiga tahun ke depan," ujar Inez dalam keterangannya dikutip Selasa (6/6).

Baca Juga: Konversi Motor Listrik, MenKopUKM Gandeng Bengkel Pelaku UMKM

Namun langkah yang tepat perlu diambil dalam usaha mendukung bisnis hijau. Pasalnya, tidak semua sumber pendanaan bersedia atau cocok untuk berinvestasi pada bisnis hijau.

Sejak mulai beroperasi di tahun 2021, Supernova Ecosystem berusaha untuk menciptakan ekosistem bisnis lestari. Ekosistem ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan serta menciptakan kolaborasi antar bisnis hijau di Indonesia.

Supernova Ecosystem telah membimbing 11 badan usaha di bawah binaan Konstelasi Accelerator, dan 2 perusahaan di bawah binaan Equatora Capital. Mayoritas dari perusahaan- perusahaan tersebut berkecimpung dalam sektor fast-moving consumer goods (FMCG), terutama di industri kecantikan, kesehatan, and wellness. Bisnis-bisnis ini tidak hanya bertempatan di kota-kota besar, tetapi juga tersebar di berbagai wilayah kabupaten di Indonesia.

“Di Supernova kami melihat dari dua kacamata, yaitu kacamata UMKM dan investor," terangnya.

Baca Juga: Rambah Pasar Global, Bea Cukai Banjarmasin Asistensi Ekspor Pelaku UMKM

Dari kacamata UMKM, Konstelasi Accelerator bertujuan untuk mempercepat perkembangan mereka agar siap menerima investasi dengan mengadakan program-program yang dapat mereka ikuti.

Sementara itu, dari kacamata investor ada Equatora Capital sebagai solusi pencocokan investor dengan pelaku usaha yang tepat, dengan jumlah dana dan tujuan sektor yang akurat.

"Dengan kata lain, Equatora menghubungkan investor dengan kepedulian lingkungan pada UMKM hijau yang cocok dengan latar belakang investor tersebut, dan juga memastikan bahwa jumlah dana yang dimodalkan pas dengan kebutuhan pelaku usaha tersebut agar menghindari risiko investasi,” papar Inez.

Peran lembaga keuangan negara

Selain berasal dari modal investor ventura untuk pengembangan UMKM hijau, pendanaan investasi UMKM hijau juga bisa berasal dari perbankan yang regulasinya diatur oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Baca Juga: 27 UMKM Meriahkan Pameran Kreatif AKI 2023 di Pangkalpinang

Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono berpendapat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, para regulator pemerintah telah cukup menunjukkan komitmennya dalam mendorong UMKM berkelanjutan.

"Salah satu contohnya adalah Otoritas Jasa Keuangan telah meresmikan kebijakan hijau seperti Peraturan OJK No. 51 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Selain itu, Bank Indonesia juga telah beberapa kali menyuarakan desakan ke bank-bank swasta maupun BUMN untuk meningkatkan pembiayaan kredit ke banyak UMKM di sektor hijau secara lebih masif,” ungkapnya.

Lebih lanjut Yudo menjelaskan salah satu respons yang dilaksanakan pemerintah melalui Bank Indonesia dalam menjawab tantangan perubahan iklim serta mendukung transisi UMKM ke praktik hijau dan berkelanjutan adalah dengan bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam menyusun kajian model bisnis pengembangan UMKM Hijau.

Kajian tersebut berisi kerangka pengembangan serta strategi implementasi model bisnis UMKM hijau yang berfokus pada sektor pertanian dan kerajinan dengan cakupan identifikasi, definisi, kriteria, dan indikator UMKM hijau, penyusunan dan analisa model bisnis, serta strategi dan rekomendasi untuk implementasi program UMKM hijau.

Teguh menambahkan, terdapat aspek-aspek lain yang masih perlu ditingkatkan dari pihak regulator untuk mendukung UMKM Hijau. Contohnya, mengubah kebijakan batas maksimum dan tenggat waktu pemberian kredit untuk pelaku usaha di sektor hijau.

Baca Juga: UMKM Naik Kelas, Pegadaian Gelar Program Pelatihan GadePreneur

UMKM hijau bantalan krisis ekonomi
Menurut Teguh, cara paling efektif untuk UMKM lokal bisa sukses menerapkan aspek ramah lingkungan justru bukan melalui integrasi langsung ke produk fisiknya karena akan memakan biaya yang cukup mahal.

Namun, akan lebih memungkinkan secara biaya untuk para UMKM lokal jika aspek ramah lingkungan diimplementasikan pada satu atau beberapa bagian di proses rantai pasokan, seperti pengolahan limbah, penggunaan energi bumi yang lebih efisien, dan lainnya.

"Dari yang saya lihat dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan pesat jauh lebih terfokus pada UMKM yang mengaplikasikan praktik bisnis ramah lingkungan, dibandingkan dengan UMKM yang menghasilkan produk hijau," terangnya.

Peneliti Senior dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina mengungkapkan hal berbeda. Menurutnya, UMKM produk hijau biasanya dipelopori oleh anak-anak muda.

Baca Juga: UMKM Naik Kelas, Pegadaian Gelar Program Pelatihan GadePreneur

Ciri khasnya adalah kreativitas dan modal stabil dari investor yang sangat peduli terhadap isu lingkungan jika ingin sustain operasionalnya. Sementara sebuah UMKM, kata Poppy, jauh lebih mudah untuk mengintegrasikan prinsip ramah lingkungan dalam aktivitas produksi, seperti pengelolaan limbah zero waste.

"Tanpa harus mengganti produknya menjadi barang ramah lingkungan,” ujar Poppy.

Aplikasi prinsip ramah lingkungan dalam bisnis UMKM Hijau dan juga produk ramah lingkungan yang dihasilkan dapat menjadi mekanisme bantal (cushion mechanism) ketika terjadinya krisis ekonomi.

Hal ini, ucap Poppy, tidak terlepas dari karakteristik bisnis UMKM yang mampu bertahan terhadap guncangan ekonomi global, mampu menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan produk dengan harga terjangkau.

Baca Juga: Akselerasi Kelas UMKM, Teten: Peran PLUT-KUMKM Perlu Dioptimalkan

"Pada saat krisis ekonomi akibat pandemi, UMKM justru mampu bertahan dengan melakukan diversifikasi produk dibanding perusahaan besar, seperti membuat masker, produk kesehatan, dan makanan yang justru menjadikannya tonggak ekonomi yang tangguh," terangnya.

Dengan semakin berkembangnya UMKM hijau, menurut Poppy, akan memperkuat bantalan ekonomi mikro sekaligus permasalahan lingkungan di Indonesia. Sehingga dukungan modal atau investasi bagi perkembangan UMKM Hijau perlu terus didukung oleh semua pihak.

Editor
Komentar
Banner
Banner