Oleh Puja Mandela
"Tuah Tanah Borneo", single yang baru saja diluncurkan Primitive Monkey Noose (PMN), band punk rock asal Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, adalah sebuah karya musik yang melibatkan lebih banyak pikiran dibanding lagu-lagu lain di album perdananya.
Saya menyebut seperti itu bukan berarti di album pertama PMN tidak menggunakan pikirannya sama sekali. Namun, gaya Richie Petroza, si vokalis sekaligus kapten PMN yang sat-set-sat-set, bim salabim, sangat terasa di album pertama mereka bertajuk "Anthem of South Borneo". Sementara di lagu ini PMN terlihat lebih matang dengan menyajikan banyak kejutan yang menggembirakan.
Misalnya, pada bagian intro. Petikan panting dengan iringan gitar akustik yang lembut mengalun dengan tempo sedang, layaknya lagu-lagu pop Banjar pada umumnya. Setelah 30 detik, wajah asli PMN yang cepat dan keras langsung keluar. Ya, setelah 30 detik itu kita bisa melihat bagaimana sosok PMN yang sesungguhnya.
Tempo sedikit melambat saat masuk ke bagian reffrain saat si vokalis berteriak, "Warna warni dunia, penentu semesta. Berlomba menuju bencana, Berpialakan kertas berhala/logam petaka..." Di bagian ini notasinya terdengar sangat anthemic dan berpotensi mengundang orang-orang untuk menyanyikannya bersama-sama.
Baca Juga: Mondblume, The Beatles, dan Romantisme Kota Seribu Sungai
Skill Oveck sebagai lead gitar benar-benar dimanfaatkan PMN untuk membuat lagu ini makin kuat. Meski si gitaris punya kemampuan untuk melakukan lebih banyak atraksi layaknya guitar hero, tapi di sini Oveck memilih bermain efektif. Dia benar-benar tak banyak basa-basi.
Selain soal komposisi yang menarik, hal lain yang bisa dibanggakan pada lagu ini adalah kualitas liriknya. Meski tidak berada di level istimewa, tapi sebagai musisi yang punya 'selera', Richie Petroza jelas punya lebih banyak waktu untuk membuat kata dan istilah baru yang lebih berbobot dibanding lagu-lagu PMN di album sebelumnya.
Liriknya mengandung pesan peringatan tentang kerusakan alam yang terjadi di Tanah Borneo. Di dalam lagu itu Richie juga menggunakan istilah 'kertas berhala' untuk manusia yang sudah menjadi penyembah materialisme. Atau istilah 'logam petaka', sesuatu yang sebenarnya bisa membawa manfaat, tapi malah mendatangkan banyak bencana bagi manusia. Meski liriknya terasa pahit, tapi PMN menyelipkan sedikit optimisme di bagian akhir liriknya. Ini membuat Tuah Tanah Borneo tak menjadi sekadar lagu 'keluhan' dan 'sumpah serapah'.
Tentu saja lirik merupakan komponen penting dalam sebuah lagu. Ada banyak penikmat musik yang saat mendengar lagu, ia akan menyimak liriknya terlebih dahulu. Dan dari sekian banyak lagu yang diproduksi di Tanah Borneo, hanya ada segelintir yang bisa dikategorikan memiliki penulisan lirik yang oke. Selain PMN, hanya ada beberapa nama yang layak disebut bagus, di antaranya, Muram, Penembak Jitu, Mondblume, atau mungkin... Binal. Sementara sejumlah musisi lainnya, tidak menulis lirik yang 'menye-menye' saja sudah suatu keajaiban.
Baca Juga: Dari Sony Music ke Demajors, Primitive Monkey Noose Rilis Single Terbaru
Satu bagian yang barangkali menjadi kekurangan pada Tuah Tanah Borneo karena di beberapa bagian, vokal Richie Petroza yang berat sekaligus kasar 'behualan' dengan raungan gitar dan drumm, sehingga artikulasinya terdengar kurang jelas. Tapi, untungnya itu tak banyak mengurangi kenikmatan saat mendengarkan lagu ini.
Hal terburuk yang ada di Tuah Tanah Borneo justru berada di detik-detik akhir lagu. Padahal, PMN jelas memiliki banyak opsi lain untuk menutup lagu ini. Bisa saja si Richie berteriak, "Takbiiir!" atau "Ya Salam" agar terkesan lebih syari'ah. Tapi dia malah memilih suara orang meludah untuk menjadi penutup lagunya. Ini jelas terlalu menjijikkan jika kita mendengarkan lagu ini sambil makan soto banjar atau iwak karing masak asam. Lagi pula semburan ludah itu juga tidak jelas ingin ditujukan kepada siapa. Apakah itu ditujukan untuk para perusak alam di Kalimantan atau semburan ludah itu sebenarnya ditujukan ke wajah Richie Petroza sendiri sebagai penulis liriknya?
Sebagai sebuah karya musik, Tuah Tanah Borneo mungkin bisa masuk dalam deretan lagu rock terbaik yang pernah diproduksi secara independen di Kalimantan Selatan. Aransemen yang matang, perubahan tempo yang mengejutkan, notasi dan progresi chord standar ala album pertama yang mulai ditinggalkan, semuanya memperlihatkan bahwa saat menulis hingga memproduksi lagu ini, PMN bersama produsernya, Prima Yuda Prawira, benar-benar menggunakan lebih banyak energi dan pikiran untuk menghasilkan sebuah karya musik yang tak hanya asyik untuk didengarkan, tapi juga menjadi bahan yang bagus untuk sama-sama kita renungkan.
*
Penulis adalah redaktur di bakabar.com