bakabar.com, BATULICIN - Memasuki bulan keenam, polisi belum juga menetapkan tersangka atas insiden longsornya jalan nasional Km 171, Satui, Tanah Bumbu.
Rabu 29 September 2022, ruas yang menghubungkan Kotabaru-Batulicin dengan Banjarmasin-Banjarbaru ambrol diduga akibat masifnya aktivitas pertambangan batu bara di sana.
Kajian Wahana Lingkungan Hidup mendapati fakta lubang tambang hanya berjarak 38 meter dari sisi utara dan 152 meter sisi selatan dari badan jalan nasional Km 171. Bahkan di dekat titik longsor, masih terdapat tambang aktif yang hanya berjarak 183 meter.
Baca Juga: 6 Bulan Tragedi Km 171, Jalan Baru Masih Samar
Teranyar, polisi mulai menggunakan teknologi citra satelit. Tujuannya, guna mendeteksi penambang batu bara yang beroperasi mendekati bibir jalan nasional hingga berujung longsor dalam 2-3 tahun belakangan.
Sedianya, polisi juga telah memeriksa sejumlah saksi dari perusahaan yang memiliki konsesi batu bara di sana. Sebut saja PT Arutmin, PT Mitra Jaya Abadi Bersama (MJAB) maupun PT Autum Bara Energi.
Kendati begitu, masih belum ada tersangka dalam kasus ini.
Sejatinya, lahan yang longsor adalah milik PT Arutmin. Meski pada medio 2018-2019, entitas anak dari PT Bumi Resources Tbk itu pernah melaporkan bahwa di konsesi mereka muncul penambangan liar.
Baca Juga: Mau ke Tabalong, Pak Jokowi Tengok 'Indahnya' Longsor 171 Dong!
Ketua Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kalsel, Anang Rosadi Adenansi melihat upaya polisi mengungkap dalang di balik longsornya Km 171 tak cukup hanya bermodalkan citra satelit.
"Saya minta kapolda tidak perlu menggunakan citra satelit. Karena masih bisa tertutup awan. Mending pakai 'citra nurani' pasti lebih baik dalam mengambil keputusan," ujar Anang kepada bakabar.com, Jumat (10/3).
Enam bulan tentu saja bukan waktu yang sebentar. Apalagi bagi 23 kepala keluarga yang harus mengungsi, meninggalkan rumah, dan mata pencahariannya yang hilang akibat longsor Km 171.
Panjang longsoran di jalan nasional Km 171 mencapai 50 meter. Warga yang hendak bepergian dari atau ke Tanah Bumbu terpaksa memutar 15 kilometer jauhnya melewati jalan alternatif. Jalan yang masih berupa tanah. Licin. Sampai hari ini pun masyarakat belum melihat bakal tanda-tanda perbaikan.
Kementerian PUPR sudah mengkaji kebutuhan anggaran tak kurang dari Rp265 miliar untuk perbaikan jalan sepanjang 1,10 km yang rusak di km 171. Kementerian juga menyiapkan skema pembangunan jalan baru.
Baca Juga: Tragedi Km 171, Menteri ESDM Mulai Evaluasi IUP Perusahaan
Sebab, hasil kajian geoteknik Kementerian PUPR menyebut bahwa titik longsor di Km 171 sudah tak bisa lagi diperbaiki. Kementerian juga menyebut lambannya progres perbaikan lebih terkait sikap perusahaan yang enggan bertanggung jawab.
“Citra nurani juga dibutuhkan karena publik tentu berharap institusi kepolisian bisa mengusut tuntas kasus itu. Ini demi mengembalikan citra polisi yang tengah jadi sorotan publik,” kata putra tokoh pers Kalsel, Anang Adenansi ini.
Selain aktivitas penambangan, kata Anang, sudah menjadi rahasia umum bahwa angkutan tambang batu bara menjadi pemicu lainnya kerusakan jalan.
Baca Juga: Longsor 171 Satui, Komisi VII: Setop Izin Perusahaan Tambang Bermasalah!
Masih meminjam data Walhi, mereka menemukan sepanjang 456 ribu meter jalan negara di Kalsel telah dibebani dan dikepung perizinan tambang batu bara.
"Mumpung saat ini masyarakat menaruh harapan kepada institusi kepolisian, maka Polda Kalsel bisa bertindak cepat," jelasnya.
Berbicara jalan longsor, kata Anang, sebenarnya bukan semata urusan negara. Melainkan juga menjadi tanggung jawab perusahaan yang mengeksploitasi batu bara dari perut bumi di Km 171.
"Harusnya negara juga fokus memikirkan cara mengatasi kerusakan, dan mengimbau tanggung jawab pengusaha."
Di akhir, Anang turut menyinggung perkara penetapan tersangka Habib Muhdar terkait laporan pencemaran nama baik. Ia amat menyayangkan lantaran pokok perkara penyebab longsornya Km 171 belum selesai diusut tuntas polisi.
Baca Juga: Salah Kaprah Penetapan Tersangka di Tragedi Km 171 Satui
Anang berharap kasus yang menjerat Habib Muhdar dapat selesai dengan pendekatan restorative justice. Cukuplah selesai dengan permintaan maaf.
"Kepada kapolda, saya minta tidak usah melebarkan persoalan. Sebagai pemimpin berilah advice yang baik. Memenjarakan seseorang hanya urusan nama baik hanya akan memenuhi penjara. Overload lapas sudah 650 persen dari kapasitas yang ada. Memenjarakan bukan tujuan akhir persoalan," jelasnya.
"Janganlah mengedepankan amarah dan nafsu. Alangkah baiknya memaafkan apalagi ini memasuki Ramadan, bulan untuk mengukur perjalanan hidup kita yang harusnya setiap haripun kita maknai. Jadi memenjarakan seseorang bukanlah pilihan yang baik," pungkasnya.