Tradisi Tato Mentawai

Tradisi Tato Mentawai, Seni Rajah Tubuh Tertua di Dunia

Tato tidak melulu bermakna miring. Sejumlah daerah di Indonesia bahkan menjadikan seni rajah ini sebagai tradisi turun menurun. Salah satunya, Suku Mentawai.

Featured-Image
Tato Mentawai sebagai Seni Rajah Tertua di Dunia (Foto: Good News From Indonesia)

bakabar.com, JAKARTA - “Tato adalah simbol pengganti yang digunakan untuk menunjukkan, atau setidaknya menutupi kelemahan seseorang. Mereka (orang bertato) butuh sebuah gambar yang dirajah di atas kulit agar bisa hidup lebih berani dan kuat.”

Demikian jurnalis dan penulis In Cold Blood, Truman Capote, merawikan makna tato. Memang tak dapat dipungkiri, mereka yang merajah kulit dengan tinta kerap mendapat stigma negatif di tatanan sosial – bahkan sampai dipandang sebelah mata.

Padahal, tato tidak melulu bermakna ‘miring.’ Sejumlah daerah di Indonesia bahkan menjadikan seni rajah tubuh ini sebagai tradisi turun menurun. Salah satunya, Suku Mentawai dari Sumatra Barat.

Tato Tertua di Dunia

Tato Mentawai pertama kali ditemukan dalam catatan Joseph Banks, yang ditulis pada 1769. Di sisi lain, Encyclopedia Britanniica mencatat seni rajah tertua dijumpai pada mumi di Mesir tahun 1300 SM.

Namun, mengingat Suku Mentawai adalah bangsa Proto Melayu yang datang dari daratan Asia atau Indocina, diperkirakan eksistensinya sudah ada sejak 1500 SM-500 M. Dalam seni budaya dongson di Vietnam pun ditemukan motif serupa Tato Mentawai.

Tak cuma itu, motif serupa juga dijumpai pada beberapa suku di Kepulauan Easter, Hawaii, Kepulauan Marquess, dan Selandia Baru. Sebab itulah, Tato Mentawai dinilai sebagai seni rajah tertua di dunia.

Simbol Keseimbangan Alam

Orang Mentawai percaya bahwa tato merupakan simbol keseimbangan alam. Dalam artian, seni rajah ini tak cuma sebagai penanda bagi mereka yang hidup, tetapi juga bakal dibawa sampai mati.

Pada umumnya, Suku Mentawai mengabadikan benda-benda yang lekat dengan aktivitas keseharian mereka, seperti batu, hewan, juga tumbuhan. Mereka yakin semua elemen itu memiliki jiwa.

Selain itu, bagi Suku Mentawai, tato sekaligus berfungsi untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial.

Hal itu diimplementasikan dengan merajah beragam motif nan berbeda, disesuaikan dengan profesi si pemilik tato.

Misalnya saja, tato milik dukun sikerei (tetua atau dukun adat) bermotif binatang sibalu-balu.

Sedangkan, motif untuk ahli berburu umumnya berupa binatang yang sering mereka tangkap, seperti rusa, kera, babi, buaya, dan burung.

Suku Mentawai juga membedakan motif tato berdasarkan gender. Tato perempuan, misalnya, bergambar subba atau tangguk karena kaum hawa biasanya pergi menangguk ikan di sungai atau disebut juga paliggara.

Tak cuma itu, Tato Mentawai juga menegaskan asal penyebaran suku tersebut, di mana setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri.

Adapun perbedaannya, biasanya, mengikuti hulu sungai – mengingat pemukiman Mentawai berdiri di lembah sepanjang sungai.

Meski berbeda-beda, Tato Mentawai memiliki motif khas, yakni garis-garis yang penorehannya mengikuti rumusan jarak tertentu. Sistem pengaturan jarak tersebut biasanya memanfaatkan jari.

Proses Penatoan, Tak Sehari Jadi

Lain halnya dengan penatoan di toko tato yang prosesnya hanya berlangsung sehari. Orang Mentawai melakukan proses merajah tubuh ini dalam tiga tahap.

Tahap awal yakni pada usia 11 atau 12 tahun, dilanjutkan saat berumur 18 atau 19 tahun, dan ketika sudah lebih dari 19 tahun.

Urutan penatoan pun dilakukan sesuai pola tertentu, yakni mulai dari pola durukat di bagian tulang rusuk bagian dada, titi takep atau telapak tangan, titi rere atau kaki bagian paha dan kaki, titi puso atau pusar di bagian perut, barulah dilanjutkan hingga seluruh tubuh.

Proses penatoan pada tahap pertama dimulai dengan pemanggilan sikerei dan rimata (kepala suku).

Orang tua beserta dua tetuah itu bakal merundingkan hari dan bulan yang tepat untuk melaksanakan penatoan, lalu memilih sipati atau seniman tato.

Penatoan pun tak serta merta dilangsungkan. Masyarakat satu kesukuan mesti mengadakan Punen Enegat alias upacara inisiasi terlebih dahulu, di mana dilakukan di galeri milik seniman tato yang disebut paturukuat.

Dalam upacara tersebut,  tuan tumah akan menyembelih babi dan ayam. Hasil penyembelihan lantas disantap bersama para tamu, juga sebagai upah sikerei karena sudah memimpin Punen Enegat.

Setelah itu, barulah penatoan dimulai dengan menggambar motif menggunakan lidi. Motif yang sudah tergambar lalu ditusuk dengan menggunakan patiti alias jarum bertangkai kayu.

Tangkai kayu dipukul-pukul perlahan dengan kayu pemukul agar zat perwarna masuk ke dalam lapisan kulit.

Usai penatoan, biasanya kulit akan memerah. Guna mengobati itu, orang Mentawai memakai daun kuket – sejenis lengkuas – agar luka bekas tato tak lagi memerah. Caranya, daun digosok-digosok hingga halus, kemudian dioleskan ke luka.

Editor


Komentar
Banner
Banner