News

Tradisi Bubur Asyura di Sampit, Semangkuk Rasa Penuh Makna

Sudah menjadi tradisi turun-temurun warga Juanda Sampit, memasak bubur asyura setiap tahunnya memasuki 10 Muharram.

Featured-Image
Proses pembuatan dan mengaduk bubur asyura oleh warga Jalan Juanda Sampit, secara gotong royong. Minggu (6/7/2025). Foto: bakabar.com/Ilhamsyah Hadi

bakabar.com, SAMPIT - Semangkuk bubur, ratusan senyum, dan puluhan tahun tradisi. Itulah gambaran hangat dari kegiatan rutin warga Jalan Juanda, Kelurahan Mentawa Baru Hilir, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, saat menyambut 10 Muharram 1447 H, Selasa (6/7/2025).

Sudah menjadi tradisi turun-temurun, warga setempat memasak dan membagikan bubur asyura hidangan khas bernuansa rempah kepada masyarakat secara sukarela. Tradisi ini telah berlangsung selama lebih dari 19 tahun, dan masih terus dijaga dengan penuh semangat kebersamaan.

"Setiap tahun kami membuat bubur ini, biasanya tepat 10 Muharram. Tahun ini kami memasak menggunakan 110 kilogram beras. Alhamdulillah, banyak warga yang menyukainya," ujar Idar (58), salah satu peracik bubur sekaligus tokoh warga yang terlibat sejak awal tradisi berlangsung.

Bubur asyura khas Sampit dikenal dengan cita rasanya yang kaya. Dalam proses memasaknya, beras dimasak bersama beragam rempah-rempah pilihan, seperti kapulaga, merica, bawang merah dan putih, serta diperkaya dengan kaldu ayam atau sapi, margarin, dan santan kelapa. Untuk menambah kelezatan, bubur juga dicampur sayur mayur, potongan daging sapi dan ayam.

Proses memasaknya cukup memakan waktu, sekitar dua jam. Bahan-bahan dimasukkan satu per satu, sambil terus diaduk di atas tungku besar dengan nyala api yang tinggi agar teksturnya lembut dan merata.

"Memasaknya harus telaten. Semuanya kami lakukan bersama, mulai dari mengolah bahan hingga pembagian," jelas Idar.

Yang menarik, tahun ini pembagian bubur dilakukan dalam dua sesi. Pagi hari, bubur dibagikan khusus kepada anak-anak panti asuhan dan santri pondok pesantren, sementara sesi siang ditujukan untuk masyarakat umum. Warga datang dengan membawa wadah dari rumah dan rela mengantre panjang demi menikmati sajian penuh makna tersebut.

Tak butuh waktu lama, ratusan porsi bubur pun habis terbagi. Meski gratis, warga tetap tertib dan menjaga suasana penuh kekeluargaan.

"Kami bersyukur, tahun ini banyak dermawan yang ikut membantu, baik dalam bentuk dana, bahan, maupun perlengkapan masak. Inilah kekuatan kebersamaan," ungkap Idar.

Bagi warga Jalan Juanda, tradisi bubur asyura bukan sekadar membagikan makanan, tetapi juga menyatukan hati, mempererat silaturahmi, dan menjaga warisan budaya yang sarat nilai sosial dan keagamaan.

"Melihat orang lain bahagia menikmati bubur ini, rasanya puas sekali. Inilah yang ingin terus kami jaga setiap tahun," pungkas Idar dengan senyum.

Editor


Komentar
Banner
Banner