Tak Berkategori

Terimbas Pandemi Covid-19, Target Pajak di Barito Kuala Merosot

apahabar.com, MARABAHAN – Sejumlah kebijakan yang menyikapi pandemi Covid-19, ternyata ikut membuat target pajak di Barito…

Featured-Image
Selama pandemi di Barito Kuala, BPHTB menjadi salah satu pendapatan pajak terbesar. Foto-Istimewa

bakabar.com, MARABAHAN – Sejumlah kebijakan yang menyikapi pandemi Covid-19, ternyata ikut membuat target pajak di Barito Kuala merosot.

Setidaknya selama puncak pandemi yang diikuti penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Batola di antaranya merelaksasi pajak hotel dan restoran.

Relaksasi itu berlangsung selama tiga bulan sejak April hingga Juni 2020. Kemudian wajib pajak juga bebas dari denda hingga Desember 2020.

“Sebelumnya di awal tahun anggaran, kami menargetkan pendapatan daerah dari pajak sebesar Rp24,4 miliar,” papar Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Batola, Ardiansyah, Kamis (29/10).

“Namun setelah pandemi dan beberapa dampak yang mengikuti, target tersebut diturunkan menjadi Rp15,5 miliar,” imbuhnya.

Beruntung penurunan target tersebut tidak mempengaruhi situasi di lapangan. Faktanya hingga September 2020, perolehan dari pajak sudah mencapai Rp17,2 miliar atau 110 persen.

Perolehan terbesar datang dari pajak penerangan jalan sebesar Rp8,7 miliar, kemudian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2) Rp2,3 miliar, serta Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp4,6 miliar.

Sementara pajak terkecil disumbangkan hiburan permainan ketangkasan Rp2,6 juta, pajak hotel dan penginapan Rp14,6 juta, serta reklame kain Rp17,4 juta.

“Apabila penetapan target terlalu dipaksakan, besar kemungkinan terdapat pembangunan yang tidak terbiayai di akhir tahun anggaran,” tukas Ardiansyah.

“Demi menghindari proyek terlantar, kami lebih realistis dalam menetapkan target. Andai kemudian terjadi kelebihan target, pendapatan dapat dijadikan Silpa,” tambahnya.

Lantas dalam upaya memaksimalkan serapan pajak hingga akhir 2020, BP2RD Batola mulai menerapkan Elektronik BPHTB (e-BPHTB) di pekan ketiga November 2020.

“Penerapan e-BPHTB ini mengatasi beberapa kelemahan BHPTB manual. Di antaranya dapat dipengaruhi ketidaknyamanan atau tergantung integritas petugas,” jelas Ardiansyah.

“Dalam sistem manual, wajib pajak juga bisa beralasan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) rendah, sehingga BPHTB dapat diminimalkan. Padahal kalau dibandingkan dengan harga pasar, masih terlalu jauh,” sambungnya.

Sementara dalam sistem elektronik, terdapat harga pasar yang merupakan kombinasi dari data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) dan harga transaksi BPHTB sebelumnya.

“Kami meyakini optimalisasi BPHTB bisa membaik dengan sistem elektronik. Artinya objek pajak yang sebelumnya hanya sekian menjadi pendapatan daerah, dapat dinilai sepantasnya melalui aplikasi,” tandas Ardiansyah.



Komentar
Banner
Banner