Peristiwa & Hukum

Terdakwa Dituntut Ringan, Korban Penipuan Proyek Alkes Rp23 Miliar Surati Kejagung dan MA

Surat itu dilayangkan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas), Kejaksaan Agung, Komisi Kejaksaan, Mahkamah Agung termasuk PN Banjarmasin.

Featured-Image
Bernard kuasa hukum korban menunjukan salah satu dokumen yang dipsukan Terdakwa Arianto. Foto: Syahbani

bakabar.com, BANJARMASIN - Tuntutan 10 bulan terhadap terdakwa perkara penipuan dan penggelapan pengadaan alat kesehatan (Alkes) fiktif senilai Rp 23 miliar lebih, Arianto berujung pengaduan.

Korban yang merasa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kalsel) terlalu ringan memutuskan mengadu ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas), Kejaksaan Agung, hingga Komisi Kejaksaan RI.

“Surat bernomor 008/JLF&Co/V/2024 itu kami layangkan 30 Mei 2024. Intinya kami minta perlindungan hukum karena kami menilai tuntutan 10 bulan itu terlalu ringan,” ujar kuasa hukum korban, Bernard, Jumat (6/6) sore.

“Kemudian kami juga menduga memang ada sesuatu yang tidak sesuai dengan standar operasional di kejaksaan sendiri dalam penentuan tuntutan,” lanjutnya.

Selain ke kejaksaan, dua surat serupa juga dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin termasuk Mahkamah Agung RI. Isinya tentang permohonan perlindungan hukum dan meminta majelis hakim dapat memutus perkara dengan seadil-adilnya.

Adapun alasan mengapa surat itu dilayangkan karena pihaknya kata Bernard menilai proses penegakan hukum dalam kasus ini dalam kondisi kritis. 

Di mana satu tahap lagi yakni sidang penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim bakal dilaksanakan pada Selasa 11 Juni 2024 mendatang. 

Sehingga apabila Majelis Hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan JPU atau lebih meringankan, maka jelas akan menimbulkan preseden buruk dan kekecewaan dari masyarakat pencari keadilan.

“Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan ini bisa jadi perhatian majelis hakim nanti. Karena berdasarkan keyakinan hakim menggali dari nilai-nilai masyarakat yang berkeadilan maka bisa memberikan putusan di atas tuntutan,” harapnya.

Secara gamblang, Bernard menjelaskan bahwa Majelis Hakim tentunya sudah dapat menimbang sesuai apa yang didapati ada dalam fakta persidangan. 

Arianto memang terbukti secara terang benderang telah melakukan penipuan dan penggelapan sesuai pasal dakwaan 378 dan 372 KUHP hingga mengakibatkan kliennya merugi Rp 23 miliar lebih.

Dimana proyek fiktif pengadaan Alkes berupa pengadaan baju hazmat APD, swab rapid test, hingga pengadaan alat ventilator yang terjadi pada 2021 itu dilakukan Arianto di lima instansi. 

Pertama pengadaan alkes di Universitas Padjadjaran, Bandung, Dinas Kesehatan Surabaya, RS Islam Faisal Makassar, RS Budi Mulia, Bitung, dan terakhir di RS Undata, Palu.

“Contoh di proyek Universitas Padjadjaran setelah dikroscek fiktif. Dokumen dipalsukan dari kop surat, tandatangan, NIP, sampai stempel. Ketika saksi bersangkutan diperiksa di pengadilan itu memang terbukti palsu,” kata Bernard.

Di sisi lain, Bernard juga menyinggung soal adanya kejanggalan yang ditemukan dalam penangan kasus ini. Dari soal lambatnya proses penangkapan, advokat yang berbalik arah, pengistimewaan, hingga adanya telepon genggam yang didalamnya terdapat bukti kejahatan malah dihibahkan ke salah seorang oknum penyidik.

“Oleh karena itu, pengadilan merupakan pintu terakhir bagi korban untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum yang berpihak bagi korban sebagai masyarakat pencari keadilan,” pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner