bakabar.com, JAKARTA - Terapi bekam, metode terapi penyembuhan populer yang telah ada sejak lama guna mengobati berbagai penyakit. Apakah berisiko?
Terapi bekam diketahui telah dilakukan sejak zaman kuno oleh bangsa Mesir dan Makedonia sekitar 5500 tahun yang lalu, kemudian meluas dan memperkenalkannya ke Yunani, Tiongkok dan Roma.
Seiring berjalannya waktu, terapi ini meluas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang memanfaatkan terapi ini sebagai pengobatan di saat kondisi kurang baik.
Biasanya, orang melakukan bekam untuk mengurangi rasa sakit, peradangan, memperlancar aliran darah, relaksasi, membuang racun tubuh dan pengobatan lainnya.
"Bekam sendiri merupakan terapi pengobatan tradisional menggunakan alat khusus seperti corong, yang dipercaya mengeluarkan racun tubuh," kata Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), seorang Dokter Spesialis Paru, pada unggahannya di X, dikutip Jumat (22/12).
Melansir WebMD, beberapa corong atau cangkir yang kerap digunakan dalam terapi ini terbuat dari kaca, bambu, tembikar, dan silikon.
Terapi bekam sendiri terbagi dua metode, kering dan basah, di mana saat melakukan terapi keduanya akan memasukkan zat yang mudah terbakar seperti alkohol, hera atau kertas ke dalam cangkir dan membakarnya.
Saat api padam, mereka menaruh cangkir tersebut secara terbalik di atas kulit. Saat udara dalam cangkir mendingin, hal itu menciptakan ruang hampa dan menyebabkan kulit naik dan memerah saat pembuluh darah membesar.
Bekam basah menghasilkan hisapan dan membiarkan cangkir tersebut selama sekitar 3 menit, dan kemudian akan mengeluarkannya dengan menggunakan pisau bedah untuk membuat sayatan kecil pada kulit.
Selanjutnya akan dilakukan penyedotan kedua untuk mengeluarkan sedikit darah yang cukup banyak, setelahnya Anda mungkin diberikan salep atau perban antibiotik untuk mencegah infeksi.
Jurnal mengenai terapi bekam sudah banyak dilakukan, dan ditemukan bahwa terapi ini memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, seperti menyembuhkan kelainan darah seperti anemia dan hemofilia, penyakit rematik, gangguan ginekologi, masalah jerawat dan eksim, tekanan darah tinggi, migrain, kecemasan dan depresi, hingga alergi dan asma.
Apakah pasien Tuberkulosis boleh melakukan bekam?
Dr. Erlina juga menegaskan bahwa seorang pasien Tuberkulosis (TB) boleh saja melakukan terapi bekam, tapi dengan catatan untuk terus mengonsumsi obat-obatan yang telah diresepkan oleh dokter.
"Untuk bekam basah dengan sayatan itu harus dilakukan hati-hati. Jarumnya harus steril dan enggak boleh dipakai berulang-ulang dari satu pasien ke pasien lainnya." ujar dr. Erlina.
Menurutnya, jarum dan alat yang digunakan harus steril dan tidak boleh dipakai berulang-ulang dari satu pasien ke pasien berikutnya. Ditakutkan akan menyebarkan penyakit menular lainnya yang tidak diketahui.
"Karena hal ini bisa jadi adanya penularan virus HIV/AID dari pasien bekam sebelumnya, boleh bekam asal jarumnya steril dan obat anti TB-nya tetap diminum. Oke?," tutupnya.