bakabar.com, JAKARTA – Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan pernyataan dokter Lois Owien yang menyebutkan bahwa sesungguhnya virus corona tidaklah nyata.
Oknum dokter tersebut juga mengklaim bahwa banyaknya pasien yang meninggal adalah akibat dari interaksi obat.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan keresahan masyarakat, karena hal itu bertentangan dengan sejumlah fakta yang selama ini dipercaya.
Lantas apa yang sebetulnya dimaksud dengan interaksi obat? Guru besar farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt memberikan paparan dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan interaksi obat.
“Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain [bersifat sinergis atau additif], atau mengurangi efek obat lain [antagonis], atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan,” ujar Zullies, dilansir dari keterangan yang diterima Antara.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual.
Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid). Hal serupa juga terjadi pada kasus pasien-pasien Covid-19 yang memiliki komorbid.
Zullies kemudian menyebutkan hipertens sebagai contoh penyakit yang tidak bisa terkontrol hanya dengan obat tunggal.
Kadang jenis penyakit ini membutuhkan obat antihipertensi lain yang dikombinasikan dengan dua atau tiga obat antihipertensi lainnya.
Dalam kasus ini Zullies menjelaskan bahwa pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda.
“Sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah,” jelas Zullies.
Lantas bagaimana dengan terapi Covid-19? Covis-19 merupakan salah satu penyakit unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.
Pada kasus Covid-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian.
Dalam hal ini, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.
“Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya,” jelas Zullies.
Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan.
“Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin, mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan,” papar Zullies.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Zullies kemudian mencontohkan interaksi obat yang menyebabkan penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.
Baca halaman selanjutnya, menghindari interaksi obat