Jargon kunci dalam JETP, yakni transisi energi, adil, dan kemitraan, bisa dimaknai sebagai muatan politik kepentingan negara-negara Utara yang notabene negara maju/kaya.
Jekson Simanjuntak, Dewan Pengawas SIEJ
TINDAK lanjut dari kesepakatan para pemimpin negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022 terkait pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) berujung pada terbentuknya sekretariat tim kerja JETP. Sekretariat tersebut siap bekerja merealisasikan kerja sama pendanaan transisi energi sebesar 20 miliar dolar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di sela pertemuan bersama delegasi IPG JETP, Kamis (16/2) menegaskan output selama enam bulan ke depan yang akan dicapai sekretariat yaitu menyelesaikan roadmap pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara, memobilisasi investasi dan mendukung mekanisme pembiayaan yang dituangkan dalam Comprehensive Investment Plan (CIP).
Sekretariat JETP resmi berkantor di Kementerian ESDM difokuskan sebagai pusat informasi, perencanaan dan koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek JETP. Adapun struktur tata kelola JETP terdiri dari tiga tingkatan, yaitu policy layers Indonesia decarbonization task force dan IPG task force, sekretariat JETP, dan pelaksanaan proyek.
PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) selaku manager pendanaan akan bermitra dengan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang terdiri dari Bank of America, Citibank, Deutsche Bank, HSBC, Macquaire, MUFG dan Standard Chartered serta bank pembangunan multilateral lainnya. Penunjukan PT. SMI selaku country platform manager ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 275 Tahun 2022.
Koordinasi antar pemangku kepentingan terus diupayakan untuk mengusulkan transaksi pilot project early retirement di bawah payung JETP untuk membuktikan keberlangsungan mekanisme pasar. Koordinasi itu melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, PT PLN (Persero), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan - CIF-ACT, dan lainnya.
Adapun kerangka JETP tak bisa dipisahkan dari alokasi dana pinjaman CIF (Dana Investasi Iklim/Climate Investment Fund) dari Group Bank Dunia (2008), termasuk program pinjaman CTF (Dana Teknologi Bersih/Clean Technology Fund) bagi swasta untuk investasi geothermal, baterai, tenaga surya, serta program pinjaman ACT (Mempercepat Transisi Batubara/Accelerating Coal Transition) dengan empat negara sasaran awal yaitu India, Indonesia, Filipina dan Afrika Selatan.
Banyaknya pihak yang terlibat di skema JETP, menjadi penting untuk dibaca sebagai rencana investasi industri keuangan/pembiayaan global, utamanya oleh negara-negara kaya yang berdampak besar terhadap rantai ekonomi global.
Karena itu, jargon kunci dalam JETP, yakni transisi energi, adil, dan kemitraan, bisa dimaknai sebagai muatan politik kepentingan negara-negara Utara yang notabene negara maju/kaya. Bahkan, jika dikaitkan dengan krisis iklim, merujuk analisisnya Jatam, setidaknya terdapat tiga agenda yang mewakili kepentingan tersebut:
Pertama, mengubah perhatian dan pengalihan kesepakatan anggota PBB, dari upaya penghentian kegiatan ekstraktif yang bersumber dari energi fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara) menjadi transaksi kompensasi keuangan atas nama ekonomi rendah karbon dan segudang sebutan lainnya.
Padahal kita tahu, eksplorasi terus berlangsung dan atas dalih ekonomi hijau, mereka (industri ekstraktif) sanggup untuk terus membayar kompensasi, tanpa perlu mengurangi emisi yang dihasilkan.
Itulah mengapa, dalam analisisnya, Jatam menyebut, "Dalam penjungkir-balikan akal sehat seperti itu, perusahaan-perusahaan energi fosil raksasa dan industri yang bergantung padanya bahkan akan bisa mengaku telah mencapai emisi Nol sambil terus memperbesar semburan gas rumah-kaca."
Kedua, adanya perluasan pasar industri energi beserta rantai industri ekstraktif, ditambah dengan infrastruktur teknologi dan peran lembaga keuangan/pembiayaan yang berkelindan di dalamnya. Sasaran utamanya, menurut Jatam adalah negara-negara Selatan, termasuk Indonesia yang dikenal sebagai emerging markets.
Akibatnya, akan terjadi pembukaan lahan secara masif, dan eksplorasi wilayah perairan yang berdampak pada perubahan bentang alam. Semua itu terjadi demi hadirnya ekstraksi mineral kritis bagi produksi dan konsumsi energi terbarukan.
Ketiga, adanya protokol penjaminan keamanan demi kepentingan investasi jangka panjang atas wilayah-wilayah koloni industri –terutama koloni industri energi– dari negara Utara. Bahkan, telah disiapkan pembaruan sistem transaksi dan penghitungan pendapatan nasional, mekanisme dan instrumen regulasi, akses bebas ke bagian manapun dari wilayah kedaulatan negara yang akan dieksploitasi.
Menurut Jatam, tidak mungkin diselipkan gagasan keadilan dalam skema JETP. Karena itu yang dimaksud sebagai kemitraan akan lebih tepat disebut sebagai relasi kolonial-imperial antara patron politik dan keuangan dengan negara-negara kliennya.
Belajar dari Afsel
Sejauh ini, tidak banyak kajian dan literatur yang bisa diakses publik tentang ikhwal pembiayaan JETP. Bahkan mendiskusikannya dengan melibatkan masyarakat, sebagaimana temuan 350 Indonesia, menjadi barang langka.
Padahal menurut Tim Leader 350 Indonesia Firdaus Cahyadi, langkah pertama yang harus dilakukan Sekretariat JETP adalah membuka informasi publik terkait proyek yang dibiayainya. Termasuk harus membuka persentase utang luar negeri di proyek JETP. Tanpa pelibatan publik, JETP berpeluang dibajak segelintir elite ekonomi-politik di Indonesia.
Indonesia layak belajar dari Afrika Selatan (Afsel) terkait JETP selaku negara percontohan pertama untuk proyek kemitraan tersebut. Dengan nilai investasi sebesar 8,455 miliar dolar, ternyata 96 persennya berupa pinjaman konsesional dan pinjaman komersial serta jaminan hutang. Sisanya 4 persen adalah dana hibah.
Perbandingan hibah/hutang dari keenam investornya (CIF/ACT, Inggris, UE-Bank Investasi Eropa, AS, Perancis, Jerman) berkisar antara 0.3% dari Perancis hingga 25.7% (Jerman). Belakangan menurut Jatam, ESKOM sebagai PLN-nya Afrika Selatan mengalami krisis utang, sehingga rantai pasokan listrik EBT untuk kebutuhan dalam negeri menjadi tidak pasti.
Hal lainnya, kebijakan JETP Afrika Selatan ternyata informasinya sangat tertutup dan tidak dapat diakses publik, utamanya saat penyusunan investment plan berlangsung. Dibutuhkan waktu enam bulan bagi publik untuk mendapatkan informasi lanjutan terkait JETP setelah diumumkan di COP 26 Glasgow Inggris.
Baru pada Juni 2022, dokumen resmi Six-month Update on Progress in Advancing the Just Energy Transition Partnership (JETP) dirilis. IPG akhirnya mendukung investment plan yang disusun oleh pemerintah Afrika Selatan pada awal November 2022.
Rincian dana USD 8,455 miliar tersebut akhirnya bisa dilihat publik. Terakhir, pemerintah Afrika Selatan sedang melakukan pembicaraan bilateral dengan beberapa negara untuk mendapatkan biaya tambahan untuk program JETP-nya.
Lalu Indonesia?
Rencana investasi JETP untuk Indonesia tidak akan berkorelasi terhadap koreksi atas sumbangan emisi Indonesia dari industri energi. Selama tiga dekade terakhir (1990-2018), pertumbuhan emisi gas rumah-kaca Indonesia adalah lima kali lipat untuk kelistrikan dan transportasi, dan empat kali lipat untuk manufaktur/konstruksi.
Hal itu seiring dengan konsumsi batu bara dalam negeri yang terus naik dari 10% di tahun 1985 menjadi 40% pada 2020. Kementerian ESDM sendiri terus meningkatkan target ekstraksi batu bara, dari 594 juta ton (2020) naik 20 persen ke 697 juta ton (2023).
Artinya ada kenaikan emisi terkoordinir dari industri batu bara Indonesia. Sementara jika dikaitkan dengan kebutuhan pasokan listrik, hari ini hanya ±40GW dengan pasokan mencapai ±70GW. Dengan demikian, terjadi over supply listrik.
Ini semakin menarik ketika skema JETP justru menyuarakan upaya pensiun dini belasan PLTU batu bara, yang seharusnya bisa dilakukan sejak lama. Ditambah ide pembakaran campuran PLTU menggunakan biomassa, beserta inovasi kategori perkebunan/konversi hutan, dari HTI menjadi HTE (hutan tanaman energi). Hal lainnya, promosi transaksi keuangan antar operator/pemilik PLTU sebagai mekanisme palsu penurunan emisi melalui perdagangan karbon.
Sementara terkait dengan penghentian eksplorasi minyak dan gas tidak pernah disinggung. Padahal publik tahu, setiap tahun target lifting minyak dan gas fosil terus naik. Hal itu tentu tidak sejalan dengan upaya pengurangan emisi GRK secara nasional.
Itu sebabnya, banyak yang mempertanyakan mengapa minyak dan gas sebagai sumber emisi terbesar tidak pernah dilibatkan sebagai bagian dari transisi energi dari skema JETP. Padahal semua tahu, emisi yang dihasilkannya sangat besar.
Dengan demikian, JETP yang mencakup 20 miliar dolar AS hutang baru, ditengarai akan membebani keuangan negara untuk proyek-proyek yang sama sekali tidak berhubungan dengan pemulihan krisis iklim dan perlindungan atas ekonomi masyarakat terdampak.
Rencana investasi JETP dan transaksi bisnis terutama dengan investor akan berlangsung di dalam skema tertentu, dimana informasi dan komoditi di bawah kendali industri, dan karenanya tidak akan memberikan manfaat besar bagi warga yang berada di wilayah industri energi. Merujuk Jatam, JETP tidak mungkin menciptakan keadilan sosial, apalagi ikut memulihkan krisis ekologis pada skala biosfer maupun pada skala kepulauan dan perairan Indonesia.
Pada skala ini, yang terjadi justru memperluas ancaman nyata pada keamanan bentang alam, air, dan sumber-sumber kehidupan rakyat lainnya, seiring maraknya ekstraksi geothermal, mineral baterai, bahan bakar nabati dan jenis energi terbarukan lainnya.
Karena itu, kemitraan JETP dengan dalih menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim merupakan modus operandi dari perangkap utang, perangkap perdagangan instrumen keuangan karbon, dan tidak salah jika Jatam menyebut, sepenuhnya berwatak kolonial.