bakabar.com, BARABAI -Sidang tentang penodaan agama yang mendudukkan Nasruddin sebagai terdakwa kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Barabai, Rabu (13/5).
Namun dalam sidang putusan ini, majelis hakim dissenting opinion atau ada perbedaan pendapat. Perbedaan ini berkaitan dengan pertanggungjawaban nabi palsu itu atas perbuatannya.
Hakim Ketua, Eka Ratna Wiadiastuti dalam putusannya, Nasruddin divonis lebih dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni dari 3 tahun menjadi 4 tahun penjara. Sementara dua hakim anggotanya, Ariansyah dan Novita Witri memutuskan terdakwa tidak bisa dipidana, namun harus direhabilitasi selama 1 tahun.
Juru Bicara PN Barabai, Ariansyah mengatakan, perbedaan itu merupakan hal wajar dalam praktik peradailan. Hal ini sudah diakomodir atau sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim memang bisa mengutarakan perbedaan pendapat.Namun inti dari dissenting opinion ini suaranya tertuju kepada yang suara mayoritas. Suara mayoritas intinya itu tadi terdakwa direhabilitasi. Jadi memerintahkan yang bersangkutanmenjalani rehabilitas selama 1 tahun di RSJ Sambang Lihum,” kata Ariansyah ditemuibakabar.comusai sidang putusan di Ruang Sidang Kartika PN, Barabai, Rabu sore.
Secara garis besar, lanjut Ariansyah, berdasarkan fakta-fakta persidangan, perbuatan Nasruddin itu terbukti bersalah sesuai Pasal 156 a.
Karena mengalami gangguan jiwa berat berupa psikotik Waham Menetap, Nasruddin tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dipidana.
Fakta bahwa Nasruddin mengidap gangguan jiwa berat berupa psikotik Waham Menetap ini berdasarkan saksi ahli, Sofyan Saragih yang memeriksa kejiwaan terdakwa.
Mengacu pada Pasal 44 KUHP, perbuatan Nasruddin tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
“Ganggun Waham Menetap ini, dia tidak bisa menilai realita. Jaditidak bisa dipidanakan kemudian melepaskan dia dari tuntutan hukum,” ujar Ariansyah.
Kendati demikian, baik Penuntut Umum ataupun terdakwa melalui penasihat hukumnya bisamenggunakan upaya hukum yang terhadap vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa.
“Ada waktu tujuh hari untuk menggunakan kesempatan upaya hukum semenjak putusan ini dibacakan,” tutup Ariansyah.
Sementara itu, Penasihat Hukum, Akhmad Gazali Nor menilai putusan berdasarkan mayoritas suara atau musyawarah yang disepakati hakim tersebut sudah sesuai.
“Memang seharusnya orang mengalami gangguan jiwa berat harus diobati dengan cara rehab. Kalau dihukum kapan lagi pengobatannya,” tutup Gazali.
Terpisah, JPU Prihanida Dwi Saputra mengatakan, untuk upaya hukum sesuai Pasal 193 Ayat 3 akan dipikirkan bersama.
“Nanti kita laporkan dulu pada pimpinan. Karena kejaksaan itu satu komando, pengambil kebijakan adalah pimpinan. Jadi kita pikir-pikir untuk tindakan hukum selanjutnya,” kata Hanida.
Sesuaifakta persidangan, dakwaan JPU, kata Hanida terbukti melakukan tindak pidana terkait Pasal 156 a KUHP dan jelas tidak ada alasan pembenar. Hanya saja perbedaan ada pada pandangan hukum yakni, pidana.
Hanida menilai, Pasal 44 yang dimaksud tidak bisa dipidana itu sepertipertumbuhan jiwa tidak sehat misalnya idiot atau terganggu karena penyakit.
“Gangguan Waham Menetap yang diderita terdakwa ini tidak masuk dalam Pasal 44, makanya bisa dipertanggungjawabkan (secara pidana-red). Bagaimana bisa dia dari 2003 -2019 dengan pengikut yang mencapai 50-an bahkan dia bisa mendoktrin orang. Ini perlu dipertimbangkan,” kata Hanida.
Yang utama perlu dipertimbangkan, lanjut Hanida adalahnilai keadilan warga di HST.
“Di sinikan masyarakatnya agamis, kami Penuntut Umum mewakili masyarakat menyuarakan suara masyarakat kita yang agamis kita,” tutup Hanida.
Reporter: HN Lazuardi
Editor: Syarif