News

Sidang MK, Saksi Beberkan Dampak Buruk UU Minerba di Kaltim

apahabar.com, JAKARTA – Herdiansyah Hamzah membeberkan dampak negatif UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba di…

Featured-Image
Ilustrasi sidang MK. Foto-Istimewa

bakabar.com, JAKARTA – Herdiansyah Hamzah membeberkan dampak negatif UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba di Mahkamah Konstitusi (MK). Herdiansyah menyebutkan, setelah UU itu berlaku, bumi Kalimantan Timur (Kaltim) dikeruk habis-habisan tanpa mengindahkan amdal.

“Advokasi kebijakan yang kami lakukan dulu dengan kawan kerja kami di Jatam di tahun 2013 yakni mendorong moratorium perizinan pertambangan di Kalimantan Timur bersama dengan kehutanan dan perkebunan. Nah, waktu itu dari hasil keterlibatan kami di dalam advokasi ini, saya masih ingat betul gubernur waktu itu masih Awang Faroek Ishak, itu mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180 yang berkaitan dengan moratorium pertambangan,” kata Herdiansyah dilansir dari detikcom, Rabu (23/2/2022).

“Yang Mulia. Itu adalah salah satu hasil kerja-kerja advokasi regulasi kami karena menganggap dampak pertambangan di Kaltim, itu begitu sangat besar, Yang Mulia. Alih fungsi lahan pertanian, pencemaran lingkungan, hilangnya hak masyarakat adat yang berkaitan dengan lahan mereka,” sambung Herdiansyah, yang juga sehari-hari adalah dosen.

Namun, menurutnya, setelah revisi UU Minerba disahkan, moratorium pertambangan menjadi tidak berlaku. Pengerukan bumi Kaltim dilakukan kembali tanpa melihat berbagai dampak lingkungan.

“Sebagai contoh, ada dua kasus yang cukup menyita perhatian publik di Kalimantan Timur. Satu, mengenai pertambangan ilegal atau illegal mining, Yang Mulia. Ada 151 titik berdasarkan data kawan-kawan di Jatam dan hampir semua kasus ini tidak serius dilakukan oleh baik pemerintah maupun aparat kepolisian dalam aspek pidana,” beber Herdiansyah.

Saat dilakukan advokasi, Pemprov Kaltim angkat tangan. Sebab, mereka menyatakan kebijakan sudah diambil pemerintah pusat berdasarkan UU Minerba yang baru.

“Nah, rata-rata jawaban pemerintah di Provinsi Kalimantan Timur, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, itu seragam. Bahwa mereka sudah tidak bisa mengambil kebijakan yang berkaitan dengan aspek administrasi tambang ilegal itu dikarenakan menurut mereka, Yang Mulia, itu sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Jadi advokasi kasus kami terhadap tambang ilegal itu sangat sulit kami lakukan, termasuk kawan-kawan di Jatam yang berkaitan dengan bagaimana penjelasan tambang ilegal, khususnya aspek administrasi yang dulunya masih menjadi kewenangan pemerintah provinsi, sekarang sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 itu,” kata Herdiansyah menerangkan.

Judicial review UU Minerba itu diajukan oleh dua organisasi kemasyarakatan sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), serta dua warga terdampak, Nur Aini (petani dari Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur) dan Yaman (nelayan asal Desa Matras, Sungailiat, Bangka Belitung).

Adapun substansi pasal-pasal yang dipersoalkan antara lain berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba, jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang, perpanjangan izin otomatis atas kontrak karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya di pembangkitan.

Sidang ditunda hingga 9 Maret 2022 untuk mendengarkan 3 saksi dari pemohon.

“Baik, kalau begitu sidang ini kita tunda hari Rabu, tanggal 9 Maret 2022, pukul 11.00 WIB untuk mendengar keterangan tiga saksi dari Pemohon, ya? Sudah jelas, ya? Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup,” kata Ketua MK Anwar Usman.



Komentar
Banner
Banner