bakabar.com, JAKARTA - Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Joko Agus Setyono bungkam saat menanggapi serapan air ke tanah di Jakarta minim dan hanya mampu menyerap sekitar 10 persen.
Maka minimnya serapan air ditengarai picu banjir yang menggenang di DKI Jakarta seiring dengan intensitas hujan yang tinggi.
Baca Juga: Banjir Jakarta, Sekda DKI: Jumlah Genangan Berkurang
Namun ia mengeklaim penanggulangan banjir masih menggunakan skema satu bentuk indeks kinerja yang berfokus pada air banjir yang mesti surut dalam waktu enam jam.
“KPI (key performance indicator) itu jadi patokan kami juga, kalau pemerintah sebelumnya menyatakan banjir enam jam surut, maka kami akan berusaha,” kata Joko kepada bakabar.com, Kamis (3/2).
Ia menerangkan bahwa penanganan banji di Jakarta menjadi persoalan utama dan diupayakan untuk menuntaskan dalam kurun waktu yang segera.
Bahkan Joko mengaku masih menggunakan program kerja penanggulangan banjir di era Gubernur Anies Baswedan untuk meminimalisir banjir. Maka ia berharap semua pihak dapat bahu membahu mengatasi banjir secara kolektif.
Baca Juga: Ketua DPRD DKI Ragu Sumur Resapan Mampu Tanggulangi Banjir
Terutama mencegah masyarakat membuang sampah sembarangan sehingga tidak memicu terjadinya banjir. Sebab daya serap air ke tanah di DKI belum optimal dan bisa diperparah dengan tumpukan sampah yang menyumbat lajur air.
Merujuk pada data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta daya serap tanah di Jakarta hanya 10 persen. Sedangkan 90 persen lainnya tidak bisa meresap air.
Baca Juga: Adipura, Komitmen Pemprov DKI dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kondisi ini semakin pelik karena penerbitan Pergub 118 Tahun 2020 tentang pemanfaat ruang yang memberi lampu hijau untuk membuka struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Maka peluang untuk mempersempit bahkan merampas ruang serap air dapat menjadi salah satu faktor penunjang terjadinya banjir. Terutama pembangunan massif di Jakarta yang membuat sesak serapan air.