bakabar.com, BANJARMASIN – Ide menamai Jembatan Sungai Alalak dengan Gubernur Aberani, ternyata mendapat tanggapan positif dari sejarawan di Kalimantan Selatan.
Salah satu pertimbangannya adalah jasa Aberani Sulaiman, baik selama masa perjuangan revolusi fisik 1945-1949, maupun ketika menjadi Gubernur Kalsel periode 1963-1968.
“Usulan penamaan Jembatan Sungai Alalak dengan nama Jembatan Gubernur Aberani cukup tepat,” papar dosen Program Studi Pendidikan Sejarah ULM, Mansyur, Rabu (29/9).
“Terlepas dari alternatif nama lain, jasa Aberani Sulaiman juga cukup besar di masa perjuangan revolusi fisik melawan kedatangan kembali NICA/Belanda, maupun ketika menjadi Gubernur Kalsel,” imbuh Ketua Lembaga Kajian Sejarah Sosial Budaya Kalimantan (LKS2B) ini.
Aberani Sulaiman yang lahir di Rangas Birayang, Hulu Sungai Tengah, 3 Agustus 1925, mengawali perjuangan di tanah kelahiran.
Kiprah Aberani Sulaiman dalam perjuangan bersenjata dimulai dengan membentuk Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka (Gerpindom) bersama Abdul Rahman Karim dan Anwarudin di Birayang.
Aksi heroik mereka terekam dalam pertempuran di Hambawang Pulasan, ketika mengadang setiap kendaraan yang berisi polisi atau militer Belanda di kawasan itu.
Bersama Made Kawis, H Damanhuri, Jamhar, Ancau, Hamdi, Idar, Suni, Aberani Sulaiman mengadang pasukan NICA/Belanda di tepi jalan raya di Hambawang Pulasan antara Ilung dengan Batu Mandi.
Setelah peristiwa Hambawang Pulasan, Aberani memimpin pejuang lain menuju Kalimantan Tenggara dan Kotabaru. Mereka menembus Pegunungan Meratus dengan tugas antara lain mencari senjata dan penghubung ke Jawa.
Dalam perjalanan antara Batang Alai ke Kotabaru, Aberanie Sulaiman bertemu dengan Hassan Basry yang berniat hendak menyeberang ke Jawa.
Pertemuan itu kemudian mengawali peleburan Gerpindim/TRI Pasukan MN 1001 dengan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Hassan Basry sebagai Pimpinan Umum dan Aberanie Sulaiman menjadi Wakil Pimpinan Umum.
Aberani Sulaiman juga tergabung dalam personalia Markas Besar RX-8 SOPIK ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan terdiri dari Hassan Basry sebagai Kepala Pasukan ALRI Divisi IV.
Aberanie Sulaiman dipercaya menjabat Wakil Kepala Pasukan merangkap Kepala Staf, Kepala Tata Usaha, Kepala Direksi Perjuangan dan Kepala Penggempur.
Dalam perjuangan selanjutnya, Aberani juga terlibat pertempuran di Janggar, Gunung Menteng (sekitar 25 kilometer dari Haruyan).
Bersama sekitar 15 pejuang lain, Aberanie diserang gerakan Partai Anti Indonesia Merdeka (PAIM) dengan pasukan yang dinamai Barisan Parang Bungkul dukungan NICA/Belanda.
Kemudian 2 Mei 1949, Belanda datang menyerang ke Desa Durian Rabung, Padang Batung, ketika Aberani membahas persiapan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan bersama Hassan Basry dan pejuang lain.
Aberani sendiri juga merupakan salah seorang perumus teks Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan 17 Mei 1949 yang ditandatangani Hassan Basry.
Proklamasi yang dibacakan Hassan Basry itu merupakan komitmen masyarakat di Kalimantan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 yang lebih dahulu ditegaskan Soekarno dan Hatta di Jakarta.
Pasca pengakuan kedaulatan di pertengahan 1950, Aberani tetap berjuang, hingga akhirnya diangkat menjadi Gubernur Kalsel periode 1963-1968.
Pengangkatan itu sesuai keputusan Presiden Republik Indonesia tertanggal 5 September 1963, dan dilantik 27 September 1963.
Aberani yang berpangkat Letkol, menggantikan pejabat lama Brigjen H Abu Yazid Busthomi. Sebelumnya juga sempat bertugas AA Rivai sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Kalsel selama beberapa bulan.
Menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965, tepatnya Maret atau April 1960 di kediaman Pangdam X/Lambung Mangkurat, Aberani sempat bertemu Ahmad Yani yang masih menjabat Deputi II Kasad berpangkat kolonel.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Hassan Basry selaku Pangdam X/LM, Ahmad Yani menggambarkan situasi politik nasional bahwa PKI sedang berusaha merongrong Angkatan Darat untuk mendominasi politik di Tanah Air.
Juga disampaikan bahwa Presiden Soekarno mulai terpengaruh fitnah PKI. Penyebabnya di sekeliling Presiden telah berkeliaran orang-orang PKI.
Presiden juga berencana membubarkan Masyumi dan PSI. Sebaliknya PKI tidak akan dibubarkan, walaupun terkena Pempres No 7 Tahun 1959.
Lantas 2 Oktober 1965 sekitar pukul 08.00 seusai rapat panca tunggal di Kalsel, dikeluarkan pernyataan mengutuk keras Gerakan 30 September yang dilakukan PKI.
Setelah masa jabatan Aberani sebagai Gubernur Kalsel berakhir, DPRD Tingkat I Kalsel menggelar rapat pleno dan mengesahkan Kolonel Subardjo Surosarodjo sebagai gubernur baru sejak 22 Oktober 1970.
Salah satu peninggalan di era kepemimpinan Aberani Sulaiman di Kalsel adalah persiapan pembangunan Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin.
Bukan Ading Basit, Jembatan Alalak Diusulkan Dinamai Gubernur Aberani