bakabar.com, BALIKPAPAN – Setelah gagal mengibarkan bendera merah putih di Karang Anyar tanggal 13 November 1945, para kelompok pemuda yang dipimpin Abdul Moethalib tersebut melanjutkan dengan penyerangan terhadap Belanda. Sayangnya penyerangan tersebut gagal karena salah melempar granat untuk menghancurkan pusat tenaga listrik di Asrama Bukit.
Abdul Moethalib, Sugito dan Fakhir Muhammad pun dilarikan ke Tanah Grogot lalu ke Banjarmasin. Sebab ketiga tokoh tersebut tengah diburu oleh Belanda karena mengetahui dalang penyerangan adalah mereka.
Meski tidak ada pemimpin utama, para kelompok lainnya pun terus bergerak melakukan perlawanan. Salah satunya pertempuran hebat di Muara Rapak. Dahulu kawasan ini berdiri sebuah pub atau club malam yang bernama Manilla Club. Yakni tempat menyenangkan para tawanan Belanda yang pernah ditawan oleh Jepang.
“Nah disitu (Rapak) masih kampung tapi disitu dibuat suatu klub malam oleh Belanda yang namanya Manila Club. Kenapa disebut Manila Club, karena untuk menggembirakan bekas-bekas tawanan Belanda yang ditawan oleh Jepang dibawa ke Manila (Philipine) supaya gembira lalu dipersenjatai kembali, lalu kita serang,” ungkap Koesman.
Pertempuran di Muara Rapak juga cukup hebat. Para pejuang yang menguasai medan terus melakukan penyerangan terhadap para pasukan Belanda. Hingga akhirnya pertempuran dikawasan tersebut berakhir.
“Itu ya kejadiannya memang hebat waktu itu tapi tidak perlu kita gambarkan nanti kalian bisa ulas sendiri,” ulasnya.
Tak tinggal diam, Belanda akhirnya melakukan serangan balasan. Pasukan Belanda yang sebagian besar pernah terjun dalam Perang Dunia Kedua ini melakukan operasi ke Markas Merah Putih yang berada di Gunung Samarinda (sekarang kantor Kemenag) pada tanggal 10 Oktober 1946. Kelompok pemuda yang memiliki massa cukup banyak ini dipimpin oleh Kasmani dan Misran Hadi Prayitno yang tak lain adalah kakak Koesman.
Pertempuran hebat pun terjadi, Markas Merah Putih diserbu oleh pasukan Belanda. Pada pejuang pun kalah jumlah dan pengalaman. Sebab hanya sebagian sedikit orang yang bisa menggunakan senjata dan perang secara frontal.
“Para pejuang termasuk saya saat itu yang tugasnya sebagai kurir atau penghubung itu hanya sedikit orang yang mahir menggunakan persenjataan dan bisa perang berhadapan secara frontal. Sedangkan Belanda mempunyai tentara yang sebagian ikut perang dunia kedua yang ikut mendarat kemari,” ujarnya.
Meski begitu, para pejuang lebih unggul karena menguasai medan. Ditambah sebagian besar para pejuang merah putih ini beberapa dari mereka eks Disersi Tentara dan Polisi Belanda yang berkebangsaan Indonesia, serta mantan Tentara Jepang yang berkebangsaan Indonesia yakni disebut Kaidun Haiho.
“Termasuk Pak Kasmani adalah Polisi Belanda sebelum Perang Dunia Kedua. Misran Hadi Prayitno itu juga mantan dari Kaidun Haiho, jadi pernah menerima didikan secara militer dan kawan-kawannya,” bebernya.
Pertempuran di Gunung Samarinda pun berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Dari pertempuran tersebut 10 orang pejuang Merah Putih gugur dan 1 orang alami luka-luka. Sementara dari pasukan Belanda disebut-sebut hanya kehilangan beberapa pasukannya saja. Padahal menurut Koesman, pasukan Belanda saat itu lebih banyak yang gugur. Hal ini diketahui setelah salah seorang warga Indonesia bernama Warido yang berdinas di Rumah Sakit Belanda menyebutkan pasukan Belanda yang gugur ada sekitar puluhan lebih.
“Pak Warido ini pada waktu itu bertugas di Rumah Sakit Belanda, nah dia mengetahui berapa jumlah yang gugur tentara Belanda yakni dari Polisi Belanda ada 12 orang, Tentara Belanda ada 20 orang dan yang luka-luka banyak. Ya karena yang saya katakan tadi, walaupun mereka pintar berperang tapi kalah medan, tidak tahu wilayah ,” terangnya.
Setelah itu Kelompok Merah Putih berganti nama menjadi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Kasmani ikut bergabung dengan Kelompok Kampung Hutan atau Kampung Damai yang dipimpin Anang Acil. Sementara Koesman sendiri membantu Kasmani turut bergabung dengan kelompok Anang Acil.
Dari sini strategi penyerangan terus berlanjut demi mengibarkan bendera merah putih sebagai tanda kemerdekaan Indonesia di Balikpapan.