bakabar.com, BANJARMASIN – Rasulullah adalah sosok yang memiliki toleransi sempurna dengan orang sekitarnya. Hal ini bahkan diakui oleh sarjana-sarjana barat meneliti kehidupan beliau.
Ketika Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa di Madinah, beliau berpesan, “Siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku.”
Menurut Norman Daniel: ”Sekian banyak bentuk penilaian negatif terhadap pribadi Nabi Muhammad yang telah dilontarkan dunia Barat pada abad pertengahan, masih terdengar gaungnya hingga kini. Nabi yang telah meluncurkan salah satu gerakan agama yang membuahkan peradaban paling sukses di muka bumi, dicerca dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas.”
Sejarah konflik antar umat beragama di dunia luar, yang telah membuahkan kesalahpahaman, rasa curiga, dan bahkan permusuhan, harus dibuang jauh dari bumi kita. Kita semua dituntut untuk memperdalam semangat persaudaraan. Semangat persaudaraan ini pernah dicontohkan Theodore Abu Qurrah, seorang uskup dari Harran, Mesopotamia, yang lahir pada 740 M.
Tanpa mengorbankan keimanannya, beliau menyatakan Nabi Muhammad SAW telah menempuh jalan para nabi.
Pada abad ini tidak sedikit biografi Nabi tulisan sarjana barat yang memiliki kadar objektivitas yang tinggi jika dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Montgomery Watt, misalnya, menulis secara simpatik tentang pribadi Nabi dalam bukunya Prophet and Statesman.
Tanpa ragu ia berkata: ”Saya menganggap Muhammad adalah benar-benar seorang nabi, dan saya berpendapat bahwa kita (umat Kristen), harus mengakui hal ini berdasarkan prinsip agama Kristen yang menyatakan bahwa ‘Dari buahnya engkau akan mengetahui [tidaknya] sesuatu usaha.’ Ini disebabkan karena sepanjang masa, Islam telah membuahkan banyak orang-orang lurus dan suci.”
Demikian pula ungkapan seorang sarjana Jerman, Gunther Luling, yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai Engelsprophet (Nabi yang menyerupai malaikat). Annie Besant juga mengungkapkan: ”Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Nabi Besar dari Arabia tersebut tidak menaruh hormat kepadanya. Dia adalah salah seorang Nabi besar dari Sang Pencipta.”
Hal senada dilontarkan pula oleh Nataniel Schmidt, yang berkata: ”Kesucian Muhammad tak bisa dipertanyakan lagi. Pengamat kritis yang tidak bermaksud menggelapkan fakta, harus mengakui pernyataan-pernyataan beliau sebagai ajaran nabi-nabi yang meletakkan prinsip-prinsip mulia untuk kemanusiaan.”
Kenneth Cragg, seorang pendeta Kristen Anglikan kontemporer, berkesimpulan bahwa: ”Penilaian negatif terhadap diri Muhammad adalah salah satu kekeliruan yang harus dihindari. Sebagai seorang monotheis sejati yang memiliki misi kenabian, Muhammad yang menjalin hubungan dengan Tuhan melalui wahyu dan kitab suci, telah berhasil menciptakan masyarakat beriman.”
Pandangan Cragg ini menandai suatu kemajuan positif ke arah sikap apresiatif terhadap Nabi Muhammad yang patut direnungkan umat beragama. Kalau saja harapan ini dapat terwujud, Insya Allah, akan tercipta suatu model yang unik yang mampu menerobos tembok pemisah psikologis yang selama ini menghambat kemesraan hubungan antarumat beragama.
Kemesraan hubungan ini secara ideal diilustrasikan dalam Alqur’an dengan penggunaan terma ahl al-kitab, untuk umat Yahudi dan Nasrani. Tersirat dari kata ahl hubungan kekeluargaan. Wajar, jika dalam salah satu ayat Alqur’an ditemukan pujian kepada kelompok tertentu umat Kristen yang menjalin hubungan baik dengan kaum Muslim.
”Sesungguhnya kamu pasti dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan, karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS al-Maidah [5] :82)
sumber: republika
Editor: Muhammad Bulkini