bakabar.com, JAKARTA - “Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan rencanamu membuka diri dan membaur di alam nyata.” Demikian sepenggalan titah Raja Pakurindang dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun.
Normasunah melalui penelitian Myths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency meyakini bahwa perintah tersebutlah yang jadi asal-usul nama Saranjana, kota gaib yang begitu melegenda di Tanah Borneo.
Penamaan Saranjana, menurut dia, tak terlepas dari sastra lokal. Itu tergantung dari ‘kultural gebundenheid’ atau ikatan budaya masyarakat. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah Legenda Kerajaan Pulau Halimun.
Berdasarkan mitos tersebut, Gunung Saranjana merupakan jelmaan tokoh Sambu Ranjana. Nama Sambu Ranjana inilah yang lantas mengalami ‘evolusi’ pelafalan menjadi Saranjana dalam lidah orang lokal.
Meski bersumber dari mitos yang belum tentu kebenarannya, bukan berarti pendapat itu tak berdasar. Normasunah menjelaskan bahwa mitos, bagian dari bahasa yang subtansinya tidak terletak pada gaya, irama atau sintaksisnya.
Penuturan itu menekankan pada cerita yang diungkapkannya, yakni berfokus pada suatu tataran khusus yang di dalamnya makna-makna melepaskan diri dari landasan yang semata mata kebahasaan.
Sebab itulah, asal nama Saranjana yang paling mendekati kebenaran adalah Sambu Ranjana.
Melihat nama Saranjana ada di halaman selanjutnya...
Melihat Nama Saranjana dari Perspektif Bahasa
Sementara itu, Dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, mengatakan asal-usul nama Saranjana bisa ditilik dari perspektif bahasa.
Nama Saranjana, Sarangjana, atau Serandjana dalam tulisan naturalis Belanda memiliki kesamaan toponim dengan Sarangtiung.
“Wilayah Saranjana ada di wilayah selatan Pulau Laut. Sementara daerah Sarangtiung di wilayah utara Pulau Laut. Bukan anomali. Apakah unsur kesamaan ini menunjukkan hubungan? Perlu pendalaman,” jelas Mansyur kepada bakabar.com, ditulis Senin (9/1).
Hal yang pasti, kata dia, keduanya menunjukkan tempat berupa ‘sarang.’ Pembuktian unsur kesejarahan dalam konteks lingua-historis hanya akan sampai di situ. Sebab, datanya terlalu minim.
Kendati begitu, Mansyur menjelaskan belum ada sumber yang menunjukkan adanya hubungan kedua wilayah ini. Artinya, pendapat ini sebatas berlandaskan pencocokan (cocoklogi) yang belum bisa mencapai taraf hipotesa.
Mansyur juga membandingkan nama Saranjana dengan kosakata India, "Saranjana" berarti tanah yang diberikan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan sejarawan India, S.D. Chaudhri dalam Indian Cases.
Dia menegaskan, pendapat yang kedua ini, lagi-lagi hanya bertaraf menjadi cocoklogi lantaran terbentur data. Belum pernah ditemukan peninggalan "wujud budaya" hasil indianisasi di Pulau Laut.