bakabar.com, JAKARTA – DPR RI mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Pidana denda pelaku bakal jadi bantuan untuk korban.
Pengesahan dilakukan dalam pembicaraan tingkat II di rapat paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, hari ini Selasa (12/4).
Rapat paripurna digelar di Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Hadir juga pimpinan lain Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Abdul Muhaimin Iskandar, Rachmat Gobel dan Lodewijk Paulus.
Pantauan detikcom, Selasa (12/4), tampak rapat paripurna itu juga dihadiri oleh sejumlah koalisi LSM perempuan dan kalangan aktivis, antara lain LBH APIK, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual.
Mulanya Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS menyampaikan laporan pembahasan RUU TPKS bersama pemerintah.
Puan kemudian meminta persetujuan kepada seluruh fraksi yang hadir untuk mengesahkan RUU TPKS menjadi produk undang-undang.
“Apakah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan kepada peserta sidang.
“Setuju,” jawab peserta.
Diberitakan sebelumnya, Baleg DPR RI bersama pemerintah mengambil keputusan atas hasil pembahasan RUU TPKS. Baleg DPR RI bersama pemerintah menyepakati RUU TPKS pada tingkat I.
Kesepakatan tingkat I diambil saat rapat pleno di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4) lalu. Rapat itu dipimpin oleh Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.
Pidana Denda Pelaku
RUU TPKS mengatur soal skema dana bantuan untuk korban. Hal itu diutarakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, baru tadi.
Eddy, sapaannya, mengatakan dana bantuan untuk korban tak akan membebani keuangan negara.
“Tidak (membebani keuangan negara). Jadi ini termasuk pasal terakhir yang kami mengubah formulanya. Pada dasarnya undang-undang ini lebih menitikberatkan pada perlindungan terhadap korban. Artinya apa, hak korban itu harus betul-betul dipenuhi,” kata Eddy seusai rapat di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (6/4).
Eddy memastikan negara akan memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Ia menjelaskan kompensasi dari negara akan diberikan jika biaya ganti rugi dari pelaku tak sebanding dengan pidana denda yang dijatuhkan oleh majelis hakim.
“Lalu pertanyaannya, bagaimana jika biaya restitusi yang diberikan oleh pelaku tidak mencukupi yang ditetapkan oleh hakim? Maka akan ada kompensasi dari negara untuk menutupi kekurangan tersebut,” ujar dia.
Eddy mengatakan kompensasi tersebut diambil dari dana bantuan korban. Formula dana bantuan korban dimaksud, kata dia, akan diformulasikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
“Kompensasi itu diambil dari dana bantuan korban. Dana bantuan korban ini memang sengaja ditulis dalam undang-undang ini karena akan dibentuk oleh Menteri Keuangan,” ujarnya.
Lebih lanjut Eddy memaparkan pidana denda yang dibayarkan oleh terpidana kasus kekerasan seksual nantinya tak masuk ke kas negara. Menurutnya, pidana denda yang dibayarkan si pelaku akan menjadi dana bantuan korban.
“Bahkan konsep dari Kementerian Keuangan itu sangat baik. Kita kan tahu bahwa dalam undang-undang ini selain pidana penjara, juga ada pidana denda. Jadi denda itu tidak dimasukkan dalam kas negara, tapi dimasukkan dalam dana bantuan korban. Jadi ini bersifat dana abadi,” jelasnya.
Tak hanya itu, Eddy menyebut sumber dana bantuan korban juga berasal dari masyarakat, corporate social responsibility (CSR) atau bantuan asing yang bersifat tidak mengikat.
“Mengenai dana bantuan korban, itu akan diambil atau akan di-collect dari masyarakat, termasuk para filantropi, CSR dari perusahaan-perusahaan, termasuk para individu maupun masyarakat termasuk bantuan asing yang bersifat tidak mengikat,” lanjut dia.
IWD 2021: Mahasiswi Kalsel Jadi Objek Kekerasan Seksual Berbasis Siber