bakabar.com, JAKARTA - Dua belas tahun silam, tepat pada hari ini, UNESCO menetapkan angklung sebagai warisan dunia. Sebab itulah, tanggal 16 November diperingati sebagai Hari Angklung Nasional.
Bukan hanya Indonesia, Google Doodle bahkan turut merayakan peringatan ini dengan menampilkan enam orang pria dan wanita yang sedang menggetarkan angklung secara bergantian.
Angklung sendiri merupakan alat musik khas Indonesia, tepatnya asal Tanah Sunda, yang terbuat dari bambu. Bukan sekadar instrumen, angklung sekaligus menjadi alat diplomasi budaya antarnegara.
Pementasan angklung seringkali tampil di berbagai negara. Salah satunya, di Amerika Serikat pada 2011 silam. Berkat pertunjukan itu pula, angklung sukses menorehkan namanya dalam Guiness Book of Record.
Dahulu, Bukan Sepenuhnya Alat Musik
Pamor angklung, boleh dibilang, baru meroket beberapa tahun belakangan. Namun, siapa sangka, alat musik ini sudah eksis sejak zaman Kerajaan Sunda, bahkan telah dimainkan sedari abad ke-7.
Usut punya usut, eksistensi angklung sudah ditemukan sedari 400 tahun silam di Jawa Barat. Penduduk desa percaya suara bambu bisa menarik perhatian Dewi Sri yang merupakan dewi padi dan kemakmuran.
Setiap tahun, pengrajin terbaik desa membuat angklung menggunakan bambu hitam khusus. Kala musim panen tiba, mereka pun mengadakan upacara dan memainkan angklung dengan harapan sang Dewi akan memberkati mereka dengan hasil panen yang subur.
Atas keyakinan itulah, angklung mulanya dipergunakan bunyi-bunyian untuk upacara yang berhubungan dengan padi. Ya, angklung tak sepenuhnya dipakai sebagai alat musik, tetapi kesenian yang berfungsi untuk upacara ritual keagamaan.
Dalam ritual keagamaan tersebut, angklung berfungsi sebagai pengganti genta alias bel yang dipakai oleh seorang pedanda (pendeta Hindu). Barulah pada masa Kerajaan Pajajaran, angklung dijadikan sebagai alat musik korps tentara kerajaan.
Pun saat terjadi Perang Bubat, angklung dibunyikan oleh tentara kerajaan sebagai pembangkit semangat juang. Hal tersebut sebagaimana yang tercatat dalam Kidung Sunda.
Warisan Budaya yang Terus Dilestarikan
Kini, angklung hanya digunakan sebagai alat musik. Pertunjukan demi pertunjukan terus digelar untuk melestarikan warisan budaya yang satu ini. Bahkan, alunan senada dari bilah bambu itu sudah unjuk kebolehan sedari masa perjuangan kemerdekaan.
Adalah Daeng Soetigna, seorang tokoh angklung nasional yang menampilkan pertunjukan angklung pada Perundingan Linggarjati 1946. Saat ini, Daeng sendiri dikenal sebagai ‘Bapak Angklung Indonesia.’
Julukan tersebut disematkan lantaran Daeng berhasil menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Sehingga, bisa dimainkan dengan harmonis bersama alat musik lainnya.
Tak berhenti di situ, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, pun turut melanjutkan upaya Daeng untuk melestarikan angklung. Udjo sendiri dikenal sebagai pendiri tempat wisata seni budaya unggulan bernama Saung Angklung Udjo (SAU) di Bandung.
Tentu Udjo bukanlah satu-satunya sosok yang melestarikan eksistensi angklung. Alat musik ini masih, dan mesti terus dilestarikan sebagai warisan budaya otentik milik Indonesia.