Histori

Ribut-Ribut Pemilu Tertutup, Ini Jalan Panjang Pemilihan Tampuk Kuasa di Indonesia

Gaduh-gaduh soal pemilu tertutup bermula ketika Demas Brian Wicaksono bersama lima orang lainnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi

Featured-Image
Proses pemilu di zaman dulu (Foto: Net)

bakabar.com, JAKARTA - Segelintir orang tampaknya masih berusaha 'mengubah' apa yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Begitu pun dengan polemik pemilihan umum alias pemilu, yang kini diupayakan berkiblat pada sistem proporsional tertutup.

Gaduh-gaduh soal pemilu tertutup bermula ketika Demas Brian Wicaksono bersama lima orang lainnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pengajuan pada November 2022 itu berkenaan dengan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bak ‘pemimpin bijak yang mendengar keluhan rakyatnya’, Mahkamah Konstitusi pun menggelar sidang uji materiil secara tatap muka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/22. Lembaga itu juga mendengarkan pandangan sejumlah pihak yang menolak sistem proporsional tertutup.

Perubahan atas sejumlah hal terkait pemilu sejatinya bukanlah persoalan baru. Sejak Orde Lama hingga Reformasi, tercatat kontestasi politik itu mengalami sederet perubahan. Salah satunya, sistem yang diterapkan.

Lantas, seperti apa sejarah dan perkembangan sistem pemilu di Indonesia?

Pemilu di Era Orde Lama

Meskipun presiden pertama Indonesia dilantik pada 1945, ternyata pemilu baru dilangsungkan sepuluh tahun setelahnya. Pada 1955, pemilu digelar sebanyak dua kali, yakni 29 September untuk memilih anggota DPR dan 25 Desember untuk memilih anggota Konstituante.

Konstituante merupakan lembaga yang bertugas menyusun undang-undang, sedangkan DPR berfokus dalam menjalankan fungsi parlementer. Kala itu, partai politik lebih banyak mengirim kader-kader unggulannya ke Konstituante daripada ke DPR.

Kedua lembaga ini lantas dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) usai Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada 1959. Berkat beleid itu pula, ketua DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pengurus Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) diangkat menjadi menteri.

Dengan kata lain, pemilu di era Orde Lama tidak memilih presiden serta wakilnya, melainkan hanya memilih anggota lembaga legislatif. Alih-alih dipilih rakyat, Presiden Soekarno ditunjuk langsung oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pemilu di Era Orde Baru

Sama halnya dengan Orde Lama, pemilu di era Orde Baru tidak memilih presiden. Kepala negara, yang saat itu adalah Soeharto, dipilih langsung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Pemilihan untuk anggota lembaga legislatif baru kembali dilakukan pada 1971. Kontestasi politik itu hanya diikuti tiga partai: Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). ]

Hal ini mengindikasikan bahwa era Orde Baru meredam persaingan, bahkan mengubur pluralisme politik.

Pemilu di era Orde Lama dan Orde Baru memiliki persamaan, yaitu sama-sama menganut sistem proporsional tertutup. Sistem tersebut memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menentukan pilihan melalui partai politiknya saja. 

Pada sistem proposional tertutup, partai politik menentukan sendiri calon legislatifnya. Dengan demikian, hal tersebut dapat memudahkan partai dalam melakukan pemenuhan kuota untuk wakil perempuan atau kelompok etnis minoritas tertentu.

Di sisi lain, sistem ini membuat pemilih seolah tidak memiliki kontribusi besar dalam memilih wakil rakyat secara langsung.

Pemilu di Era Reformasi

Pada awal masa Reformasi, atau lebih tepatnya 1999, presiden masih dipilih oleh MPR. Namun, pemilu di era ini mengembalikan pluralisme politik, dari yang semula hanya diikuti tiga partai menjadi 48 partai.

Barulah pada 2004, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini sesuai amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan ini juga melahirkan lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sejak saat itu pula, sistem pemilu yang dianut Indonesia turut berubah. Dari yang sebelumnya sistem proposional tertutup, kini menjadi sistem proposional terbuka. Melalui sistem yang dianggap lebih demokratis ini, pemilih dapat menentukan pilihan dengan lebih leluasa.

Sistem proposional terbuka menghapus kesenjangan antara pemilih dan calon kandidat yang berkontestasi dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih jadi memiliki peranan lebih besar untuk menentukan sendiri wakil rakyatnya.

Di sisi lain, sistem ini bisa memicu terjadinya politik uang. Selain itu, perhitungan hasil suara juga menjadi lebih rumit.

Editor


Komentar
Banner
Banner