bakabar.com, JAKARTA - Tanggal 10 Februari diperingati sebagai Hari Payung Nasional. Memang terdengar aneh untuk masyarakat Indonesia, namun momen ini adalah perayaan tahunan yang lazim di Amerika Serikat.
Hari Payung Nasional merupakan momen untuk mengingatkan pentingnya benda pelindung diri dari hujan itu.
Lewat peringatan ini, masyarakat diajak untuk mengecek, apakah sudah memiliki payung? Juga, apakah benda tersebut masih layak pakai?
Payung sendiri memang memiliki peranan penting dalam hidup manusia, utamanya kala musim hujan melanda. Pun perjalanan benda ini tak singkat, setidaknya telah berusia 4.000 tahun dari awal ditemukan.
Inovasi dari Negeri Tirai Bambu
Bukti penemuan payung awalnya terdapat di dalam seni dan artefak kuno bangsa Mesir, Asyur, Yunani dan Cina. Semula, benda tersebut dirancang khusus memberikan keteduhan dari sinar matahari.
Barulah pada abad ke-11 SM, Negeri Tirai Bambu mencetuskan inovasi baru. Orang-orang di sana membuat payung tahan air: berbentuk bundar dengan bahan dasar berupa kertas tipis yang dilapisi lilin dan pernis di bagian atasnya.
Sementara, di zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi, payung dianggap aksesori wanita yang mewah dan wajib dimiliki kaum bangsawan. Kala itu, payung dibuat dari bahan sutra dan bahan mahal lainnya.
Tentu saja, jenis payung yang demikian tidak memberikan perlindungan tahan lama dari hujan. Tercatat pula bahwa wanita Yunani dan Romawi memiliki payung yang sering kali dibawa oleh budak atau pelayan.
Hanya untuk Wanita
Payung di zaman itu juga melekat dengan stereotip gender. Benda tersebut dianggap sebagai satu-satunya barang wanita; pria yang berani terang-terangan memakai barang itu dinilai tak lebih dari ‘banci.’
Namun, stigma itu mulai berubah berkat gebrakan dari musafir dan penulis Persia bernama Jonas Hanway. Dia berani memakai payung di depan umum, hampir di semua kesempatan.
Awalnya, tentu dia terus-menerus mendapat ejekan dari orang-orang sekitar. Lambat laun, penduduk lelaki Inggris akhirnya mau menerima penggunaan payung tersebut pada tahun 1790-an. Sejak dipopulerkan Jonas Hanway, toko payung pertama, James Smith and Sons, muncul pada 1830 di London, Inggris.
Menariknya, payung Eropa kala itu terbuat dari kayu atau tulang ikan paus yang ditutupi dengan alpaka (metal paduan nikel, tembaga, dan seng yang mengkilap) dan kanvas yang diminyaki.
Para perajin membuat pegangannya dengan bentuk melengkung khusus untuk payung yang dibuat dari kayu keras, seperti kayu hitam. Dengan material itu, mereka bakal dibayar mahal untuk usahanya.