bakabar.com, JAKARTA – Revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi dinilai cacat formal.
Ada tujuh peneliti dan dosen mengajukan pengujian revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Mereka menilai lantaran pembentukan UU MK tersebut cacat formal.
“Pengujiannya sendiri kami mengajukan dua pengujian yang sifatnya formal dan sisi materinya,” ujar salah satu pemohon Giri Ahmad Taufik dalam konferensi pers daring usai mengajukan permohonan di Jakarta, Selasa.
Giri mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Giri tak sendiri, namun bersama Violla Reininda, Muhammad Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Illahi, dan Putra Perdana Ahmad Saifullohi yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi.
Untuk permohonan pengujian secara formal, menurut para pemohon, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dibentuk secara tertutup dan tergesa-gesa dalam prosesnya yang berlangsung kurang dari sebulan.
Revisi itu pun didalilkan sebagai sebuah penyelundupan hukum dan tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang carry over karena tidak terdapat keberlanjutan dari draf yang dibahas pada periode sebelumnya.
Selanjutnya, para pemohon mempersoalkan naskah akademik RUU Mahkamah Konstitusi yang dinilai buruk dan sekadar formalitas. Lantaran tidak menjabarkan secara komprehensif analisis mengenai perubahan ketentuan dalam RUU Mahkamah Konstitusi.
Untuk permohonan uji materi, pasal yang dipersoalkan Pasal 15 Ayat (2) huruf d dan h, Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat (1) Huruf c, Pasal 59 Ayat (2), Pasal 87 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
Untuk itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 cacat formal dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau setidaknya membatalkan pasal-pasal yang dipersoalkan.