Revisi RUU Migas

Revisi RUU Migas, Pakar: Kebutuhan Energi Terus Bertambah

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung menilai RUU Migas perlu untuk segera diselesaikan.

Featured-Image
Indonesia memiliki formasi geologis yang dapat digunakan untuk menyimpan emisi karbon secara permanen melalui penggunaan teknologi dalam kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon serta kegiatan penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Foto: SKK Migas

bakabar.com, JAKARTA - Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto meniai revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) perlu untuk segera diselesaikan. Itu penting mengingat kebutuhan energi akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Revisi diperlukan karena pemerintah telah menargetkan produksi migas pada 2030 sebesar 1 juta barel minyak bumi dan 12 miliar kaki kubik gas bumi per hari.

"Urgensi RUU Migas diperlukan untuk memberikan sinyal positif bagi dunia usaha dan dalam rangka membenahi investasi serta memperbaiki pengelolaan industri hulu migas nasional," ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (12/4).

Terdapat tiga aspek yang menjadi kunci dan saling terkait dalam rangka perbaikan tersebut, yaitu kepastian hukum, kepastian fiskal dan keekonomian serta kemudahan birokrasi atau perizinan.

Baca Juga: Jelang Mudik Lebaran 2023, BPH Migas dan Pertamina Siagakan 7.491 SPBU

“Akar permasalahannya berada pada ketiga aspek tersebut di level undang-undang,” ungkapnya.

Ditambahkan Pri, Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001) yang masih digunakan saat ini telah meniadakan keistimewaan dalam pengelolaan migas.

"Saat ini, di antara prinsip Assume and Discharge, pemisahan PSC dengan Keuangan Negara serta Single Door Bureaucracy," lanjutnya.

Menurutnya, ketentuan pada UU Migas 22/2001, pengelolaan keuangan kontrak PSC masuk dalam bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak merupakan instansi pemerintah.

Baca Juga: BPH Migas Pastikan Kelancaran Pasokan dan Distribusi BBM di Kaltim

Hal itu berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti persepsi yang cenderung negatif terkait besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery). Kemudian, kaitan cost recovery dengan APBN, serta tereksposenya para pihak dalam kontrak PSC dengan hukum karena kerugian investasi migas dapat dianggap merugikan negara.

Dalam pasal tersebut juga mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge.

Pri mengakui, memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu.

Namun, secara teknis dan administrasi itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia.

Baca Juga: Targetkan 991 Pengeboran Sumur Baru, SKK Migas Ungkap Tantangannya

Menurutnya, kondisi industri hulu migas saat ini disebut sedang mengalami kondisi sunset. Tren pencapaian kinerja dan signifikansi sektor hulu migas terus menurun. Sebagai informasi, cadangan minyak bumi Indonesia yang terbukti saat ini tercatat hanya sekitar 3,95 miliar barel dengan rata-rata produksi sekitar 600 ribu barel per hari.

“Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sunset industry, yaitu menemukan lapangan besar migas dan lapangan migas yang sudah terbukti tersebut harus segera berjalan," ungkapnya.

Kondisi sektor migas

Sementara itu, anggota tim Energi Bimasena Suyitno Patmosukismo menyampaikan bahwa Undang-Undang Migas yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi sektor migas. Apalagi sekarang merupakan era transisi energi dan target produksi migas 2030.

Untuk itu, RUU migas harus disegerakan guna meningkatkan kembali peran industry migas bagi pertumbuhan ekonomi seperti pernah ada sebelumnya.

Baca Juga: Target 991 Sumur Baru di 2023, SKK Migas Tetap Prioritaskan HSE

“Sektor hulu migas nasional pernah memiliki masa jaya sekitar 1972 hingga 1997. Pada periode tersebut, Indonesia tercatat memiliki cadangan minyak terbukti hingga 11,6 miliar barel lebih, dengan rata-rata produksi mencapai 1,3 juta barel minyak bumi per hari,” kata dia.

Senada, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyampaikan empat usulan utama dari pelaku sektor hulu migas terkait RUU Migas. Keempat hal tersebut, yaitu: kepastian hukum, perbaikan fiscal, manajemen emisi CO2, dan institusi pengelola migas serta kemudahan perijinan.

Menurutnya, kepastian hukum merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam persyaratan dan ketentuan kontrak PSC. Ketentuan-ketentuan yang ada agar diakui dan dihormati dari awal sampai akhir kontrak.

Setiap permasalahan dan/atau perbedaan pendapat terkait dengan implementasi kontrak PSC, termasuk jika ada temuan audit oleh auditor negara, harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam kontrak, bukan dibawa ke ranah hukum pidana.

Baca Juga: Jaga Pasokan Listrik, SKK Migas: Alirkan Gas Sengkang kepada PLN

Dalam hal perbaikan fiscal, menurut Marjolijn, perlunya dikembalikan penerapan prinsip Assume & Discharge, dimana Kontraktor hanya diwajibkan membayar pajak-pajak langsung.

Sedangkan pajak-pajak tidak langsung ditanggung atau dibayarkan oleh Pemerintah. Selain itu, ketentuan tentang konsolidasi biaya pada satu perusahaan yang memegang lebih dari satu wilayah kerja agar diperbolehkan sebagai pengurang pajak (tax deductibility). Konsolidasi itu berpotensi menstimulasi minat investor untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia.

“Kemudian pemberian fasilitas Tax Holiday, Branch Profit Tax (BPT) exemption ketika diinvestasikan kembali di Indonesia, serta insentif fiscal untuk kegiatan CCS/CCUS dapat menarik minat investasi yang lebih besar di sektor Migas,” kata dia.

Baca Juga: Program BBM Satu Harga, BPH Migas Siap Bantu Pemerintah

Dia mengakui, UU Migas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun ini dirasakan kurang dapat memenuhi tuntutan investasi saat ini dan yang akan datang. Karenanya, diperlukan perbaikan. Seperti ketentuan fiscal dan kemudahan investasi lainnya agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi di sektor migas.

“Kita harus mengakui bahwa ada penurunan produksi migas dalam dua dekade terakhir, dan ini bisa diperbaiki jika keempat hal yang menjadi usulan pelaku industry tersebut dapat diakomodir melalui RUU Migas, sehingga ketahanan energi nasioanl dapat tetap terjaga,” pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner