Kalsel

Respons Pemprov, Gubernur Sahbirin Mau Digugat karena Banjir Kalsel

apahabar.com, BANJARMASIN – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) akhirnya menanggapi rencana gugatan class action para…

Featured-Image
Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/1/). Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor menyatakan peningkatan status siaga darurat menjadi tanggap darurat, keputusan itu diambil mengingat musibah banjir yang terjadi semakin meluas di beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Selatan. Foto: ANTARA/Bayu Pratama

“Bisa jadi [class action]. Tapi kita pikirkan nanti pasca-tanggap darurat, dan pemulihan banjir,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada bakabar.com, Senin (25/1) malam.

Menurut Walhi, banjir dampak dari alih fungsi lahan menjadi pertambangan, dan perkebunan monokultur. Walhi melihat warga yang merugi akibat banjir sudah sepatutnya menggugat pemerintah.

“Kami sepakat karena ini sebagai wujud hak konstitusi warga negara yang meminta pelayanan kepada negara, dan negara memiliki kewajiban memastikan itu,” ujar Achmad Rozani, manajer Tata Ruang, dan GIS Walhi Nasional, dihubungi terpisah.

Terkait apa saja yang perlu disiapkan, Rozani mengatakan Walhi Nasional akan berkoordinasi lebih dulu dengan Walhi Kalsel.

Senada, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah melihat ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Bumi Lambung Mangkurat.

Merah, seperti dilansir dari Tirto.id, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.

Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah, kata Merah, juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan.

Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalam UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.

"Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang," ujar Merah.

Catatan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, 33 persen atau setara 1,2 juta hektare luasan Kalsel telah dikuasai pertambangan batu bara. Total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.

IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.

Walhi juga menemukan sebanyak 814 lubang di Kalimantan Selatan milik 157 perusahaan tambang batu bara. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi.

Sudah lebih dua pekan bencana banjir menerjang Kalimantan Selatan. Lembaga Penerbangan, dan Antariksa Nasional atau LAPAN menemukan luasan genangan banjir tertinggi mencapai 60 ribu hektare di Barito Kuala, Kabupaten Banjar 40 ribu hektare, Tanah Laut 29 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 12 ribu hektare, Hulu Sungai Selatan 11 ribu hektare, Tapin 11 ribu hektare, dan Tabalong sekitar 10 ribu hektare.

Sementara luas genangan air di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, hingga Kabupaten Murung Raya antara 8 sampai 10 ribu hektare.



Komentar
Banner
Banner