bakabar.com, BANJARMASIN – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) akhirnya menanggapi rencana gugatan class action para advokat Banua terkait banjir.
Pemprov Kalsel menyatakan siap meladeni gugatan perwakilan kelompok terkait banjir yang melanda Kalsel sejak 12 Januari.
“Kalau kita sih siap-siap aja. Kalau mau digugat class action ya silakan,” ujar Kepala Bagian Hukum Biro Hukum Setdaprov Kalsel, Bambang Eko Mintharjo, dihubungi bakabar.com, Rabu (27/1) sore.
Meski begitu Bambang tak merinci persiapan apa saja yang sudah dilakukan Pemprov Kalsel. Mengingat gugatan class action ini bakal ditujukan kepada Gubernur Sahbirin Noor.
“Yang penting kita siap-siap aja. Pokoknya kita siap,” katanya, saat ditanya soal persiapan menghadapi gugatan.
Menurut Bambang, rencana gugatan tersebut hal yang wajar. Setiap warga negara memiliki hak untuk mencari keadilan.
Pemprov Kalsel pun akan menghormati jika memang gugatan class action itu betul-betul dilakukan.
“Itu hak warga negara,” tutupnya.
Banjir dan Ancaman Tim Paman Birin, “Sudah Jatuh Warga Tertimpa Tangga”
Gugatan class action terkait banjir perlahan menyeruak ke permukaan. Ketua Young Lawyer Comitte (YLC) DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Banjarmasin, Muhammad Fazri menilai Pemprov Kalsel telah lalai.
“Memang ada beberapa dasar yang kami buat kajian di internal, di antaranya tidak adanya warning sistem atau peringatan dini dari pemprov, pemkab/kota, dan BNPB berkaitan dengan kondisi saat ini. Ternyata tak ada persiapan, ini menjadi kelalaian bagi pemerintah,” ujar Pazri.
Class action sudah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2002. Pasal 1, gugatan ini didefinisikan sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Class action tidak sebatas perubahan kebijakan tapi lebih menekankan kepada ganti rugi atas kerusakan dan menuntut dilakukannya pemulihan pasca-bencana.
Sebagai gambaran, gugatan serupa pernah dilayangkan kelompok warga ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
312 korban banjir itu meminta majelis hakim untuk menghukum Gubernur Anies dengan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp60 miliar dan ganti rugi Rp1 triliun ke para penggugat.
Mereka menilai pemerintah abai karena tak memberikan peringatan dini agar warga korban bisa bersiap diri menghadapi banjir yang melanda Jakarta, 1 Januari 2020 silam.
Terkait warning sistem, bakabar.com masih terus mencoba mengonfirmasi Gubernur Sahbirin, BPBD Kalsel, maupun Pjs Sekda Provinsi Kalsel. Namun sampai berita ini ditayangkan, baru pihak BPBD yang merespons.
“Ya kalau ini kita perlu kehati-hatian saya coba koordinasi dulu dengan pimpinan,” jelas Plt Kepala BPBD Kalsel Mujiyat, Selasa (26/1) siang.
Peradi menilai tak ada peringatan dini akan potensi banjir besar menyusul hujan lebat 9-13 Januari 2021 lalu. Banjir membuat 100.881 warga Kalsel mengungsi. Presiden Jokowi menyebutnya banjir terparah sejak 50 tahun terakhir.
Selain korban terdampak, ada 94.029 rumah terendam, sebagian rusak akibat terjangan banjir. Air bah juga meluluhlantakkan 68 jalan, 75 jembatan, 608 rumah ibadah, dan 735 sekolah.
Kamis 14 Januari 2021, Pemprov Kalsel menetapkan status siaga darurat banjir. Keputusan darurat tersebut tertuang dalam Surat Pernyataan Nomor: 360/038/BPBD/2021.
"Atas nama Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan ini menyatakan bahwa kejadian dimaksud sebagai bencana alam. Dengan ini menetapkan dan meningkatkan Status Siaga Darurat Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung dan Gelombang Pasang menjadi Status Tanggap Darurat," ujar Gubernur Sahbirin.
Peringatan ke warga turut diumumkan sang gubernur melalui media massa, termasuk melalui akun Paman Birin di hari yang sama.
Mujiyat mengatakan penetapan status tanggap darurat banjir sudah dilakukan sesuai persyaratan yang berlaku.
“Dasar kita adalah apabila ada minimal dua kabupaten yang menetapkan status tanggap darurat. Jadi sudah otomatis naik [status],” ujarnya.
Tuai Dukungan
Dear Korban Banjir Kalsel, Posko untuk Gugat Gubernur Sahbirin Segera Dibuka!
Langkah Peradi menggugat pemerintah terkait banjir Kalsel mendapat dukungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, dan Walhi Kalsel.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
“Bisa jadi [class action]. Tapi kita pikirkan nanti pasca-tanggap darurat, dan pemulihan banjir,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada bakabar.com, Senin (25/1) malam.
Menurut Walhi, banjir dampak dari alih fungsi lahan menjadi pertambangan, dan perkebunan monokultur. Walhi melihat warga yang merugi akibat banjir sudah sepatutnya menggugat pemerintah.
“Kami sepakat karena ini sebagai wujud hak konstitusi warga negara yang meminta pelayanan kepada negara, dan negara memiliki kewajiban memastikan itu,” ujar Achmad Rozani, manajer Tata Ruang, dan GIS Walhi Nasional, dihubungi terpisah.
Terkait apa saja yang perlu disiapkan, Rozani mengatakan Walhi Nasional akan berkoordinasi lebih dulu dengan Walhi Kalsel.
Senada, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah melihat ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Bumi Lambung Mangkurat.
Merah, seperti dilansir dari Tirto.id, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah, kata Merah, juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan.
Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalam UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.
"Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang," ujar Merah.
Catatan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, 33 persen atau setara 1,2 juta hektare luasan Kalsel telah dikuasai pertambangan batu bara. Total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.
IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.
Walhi juga menemukan sebanyak 814 lubang di Kalimantan Selatan milik 157 perusahaan tambang batu bara. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi.
Sudah lebih dua pekan bencana banjir menerjang Kalimantan Selatan. Lembaga Penerbangan, dan Antariksa Nasional atau LAPAN menemukan luasan genangan banjir tertinggi mencapai 60 ribu hektare di Barito Kuala, Kabupaten Banjar 40 ribu hektare, Tanah Laut 29 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 12 ribu hektare, Hulu Sungai Selatan 11 ribu hektare, Tapin 11 ribu hektare, dan Tabalong sekitar 10 ribu hektare.
Sementara luas genangan air di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, hingga Kabupaten Murung Raya antara 8 sampai 10 ribu hektare.