bakabar.com, MARTAPURA – Para pengusaha properti di Kabupaten Banjar belum dapat mengajukan izin membangun perumahan. Regulasi perizinan di tengah transisi peraturan yang baru UU Omnibus Law kosong.
Ini dampak perubahan peraturan dari pemerintah pusat, di mana Izin Membangun Bangunan (IMB) resmi dihapus dan digantikan menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Penghapusan IMB itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang ditanda tangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal Februari 2021.
PP Nomor 16 Tahun 2021 itu merupakan turunan regulasi turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law, terutama di Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b.
Dalam transisi peraturan tersebut, pemerintah daerah belum punya regulasi terkait aturan perizinan yang baru. Kosongnya regulasi ini dikeluhkan para LSM seperti Aliansyah, saat menyampaikan aspirasi pengusaha properti.
Aliansyah serta rombongannya datang ke kantor DPRD Banjar untuk beraudiensi, Selasa (5/10), mendesak pemerintah segera mengambil kebijakan. Terlebih lagi ada batasan tempo perizinan bagi untuk membangun perumahan, yakni sampai 15 Oktober mendatang.
“Ini harus ada diskresi atau kebijakan dari pemerintah, sehingga tidak mengorbankan pengusaha developer. Ini juga dapat menghambat investasi pengusaha kepada daerah, karena tidak bisa mengurus perizinan,” ujar Aliansyah kepada wartawan usai audiensi.
Sementara, Ketua DPRD Banjar HM Rofiqi mengakui belakangan ini pihaknya banyak menerima surat keluhan terutama dariReal Estate Indonesia (REI) Kalimantan Selatan, bahwa implementasi BPG di Kabupaten Banjar belum siap.
Menurutnya yang jadi masalah adalah, sektor properti ini terhubung dengan banyak sektor lainnya, di mana jika terganggu maka sektor lainnya turut terganggu.
“Makanya bersama kawan-kawan LSM yang kemarin mengadu kepada kami, hari ini dirapatkan yang akhirnya kita sepakati harus ada diskresi atas aturan ini. Artinya kita wajib mengeluarkan PBG walaupun belum ada Perda retribusinya, mengingat hajat orang banyak. Kalau tidak terbit izinnya maka tukang tidak bisa kerja, toko bangunan juga sunyi, sektor-sektor lain jadi terganggu,” terang Rofiqi.
Di sisi lain, Politikus Gerindra ini juga memaklumi bahwa permasalahan ini bukan hanya terjadi di Kabupaten Banjar, namun seluruh Indonesia.
“Jadi sejak 2 Agustus itu sebagai implementasi Omnibus Law, IMB secara nasional sudah tidak berlaku lagi. Jadi ini masalah se-Indonesia. Hanya ada beberapa daerah yang sudah ada, seperti Purwakarta, Bali, dan salah satu daerah di Jawa Timur. Hanya tiga itu. Bahkan DKI sekalipun belum ada,” tandas Rofiqi.
Sementara, Sekda Banjar H Mokhamad Hilman mengatakan di masa transisi peraturan serta masih kosongnya regulasi dari pemerintah daerah, karena adanya beberapa kendala yang terjadi, di antaranya terkait integrasi sistem.
“Dan juga ada kendala terkait penerapan masa transisi peraturan yang mestinya sudah di-launching presiden bulan Agustus tadi, ternyata tidak seluruhnya bisa diiringi dengan adanya regulasi di daerah,” ujar Sekda Hilman.
“Karena adanya kekosongan regulasi di masa transisi itu, di pemerintah pusat sendiri di beberapa bimtek yang sudah dilakukan belum ada kepastian hukum terkait hal tersebut,” sambung Hilman.
Lebih lanjut Hilman menjelaskan dengan adanya diskusi tadi bersama aktivis, pihaknya sama-sama mencari solusi dengan semangat investasi sebagaimana tujuan UU Omnibus Law.
“Di tengah lambatnya ekonomi kita, dengan semangat (Omnibus Law) itu, kita akan memberikan diskresi pelayanan investasi yang cepat dan tepat. Sudah ada kesepakatan regulasi-regulasi yang akan kita ambil untuk bisa di-upload-kan kepada sistem aplikasi yang ada, hingga semuanya berjalan lancar sebelum adanya penyesuaian regulasi, dan itu sudah ada kesepakatan penjadwalan dengan DPRD untuk melakukan perubahan regulasi dari Perda kita untuk menyesuaikan aturan baru tersebut,” papar Hilman.
Hilman menambahkan diskresi yang diambil bertujuan agar tidak mengganggu kesempatan berinvestasi para pengusaha. “Kami meyakini, diskresi yang diambil tidak melanggar peraturan dan ketentuan yang ada, karena masing-masing hak dari para pihak terjaga dan transparan,” pungkas Hilman.