Opini

Raim Laode, Komang, dan Suara-Suara Lirih dari Timur Indonesia

Seorang kawan berbisik, “Kau tahu siapa yang nyanyi? Itu La Raim. Dia yang tulis dan nyanyikan lagu Komang.” Saya tersentak. “Raim Laode?

Featured-Image
Raim Laode

Namun, kritik terbaik yang dilancarkan Raim adalah betapa timpangnya pembangunan antara Indonesia barat dan timur. Dia banyak memakai ilustrasi dan eufimisme sederhana. Misalnya bagaimana ATM di Wakatobi yang menjadi penanda kemajuan.

“Wakatobi, geografis keras, panas. Satu rumah satu matahari. Pembangunan sudah pesat. Sudah ada mesin ATM dgn AC di dalam. Ini bagus. Pemerintah mencanangkan program mendukung masyarakat berteduh dari kepanasan,” katanya.

Dia juga balik mengolok-olok orang Jakarta, yang di tahun 2020 pernah mengalami listrik padam hingga tujuh jam. Saat itu, semua orang mengeluh dan melampiaskan kekesalan di berbagai kanal media sosial.

Suasana di Wasabi Nua di Wakatobi (foto: Yusran Darmawan)
Suasana di Wasabi Nua di Wakatobi (foto: Yusran Darmawan)

Dengan cerdas, Raim menanggapinya: “Orang Jakarta terlalu lemah. Waktu mati lampu, semua mengeluh. 7 jam saja. Semua update status. Di kampungku, tujuh abad lampu belum hidup. Saya standup belum tentu mamaku nonton karena mati lampu. Percuma terkenal di sini, mamaku tidak tahu. Listrik menyala, belum tentu update status. Jaringan tetap mati.”

Dengan tema lawakan yang segar ini, dia hendak menyampaikan problem di timur yang selama ini terabaikan. Kita terlalu sibuk menyoroti padamnya listrik di kota, padahal di timur, orang mengalami kenyataan itu dengan lebih parah. Mereka biasa saja. Justru pemerintah seharusnya malu dan harus mengatasi kelangkaan infrastruktur ini.

Dia juga menyoroti problem ketiadaan lapangan kerja di pulau-pulau sehingga anak muda tidak punya profesi lain, selain menjadi nelayan. “Karena di pesisir, profesi hanya dua nelayan dan tangkap ikan. Kami susah dekat cewek. Apalagi kalau pakai gombalan bapak kami. Kita mau kerja apa lagi kalau bukan nelayan,” katanya.

Saya ingat pertemuan dengan beberapa stakeholder kelautan dan perikanan. Banyak data dipaparkan tentang kian jarangnya anak muda yang berprofesi sebagai nelayan. Tidak ada regenerasi di sektor ini, sebab seorang nelayan pun tidak ingin anaknya menjalani profesi yang sama dengannya.

Ada reproduksi sosial yang keliru, di mana profesi nelayan dianggap tidak keren bagi anak muda. Beda halnya dengan profesi sebagai pegawai negeri atau karyawan bank. Anak-anak nelayan memilih profesi lain untuk mobilitas status, termasuk memilih profesi komedian, youtuber, atau kreator konten.

HALAMAN
1234
Editor


Komentar
Banner
Banner