Saya bayangkan Raim menulis lirik di tengah hembusan angin laut Wakatobi. Mungkin saja ilham syairnya muncul saat tengah duduk di atas koli-koli atau sampan kecil di pesisir Pulau Wanci, atau saat memancing ikan di sekitar Pulau Kapota.
Dia tidak tumbuh dalam ekosistem dengan infrastruktur yang memadai. Sebagaimana pengakuannya pada Anji Drive, dia menulis lirik lagu dalam situasi penuh keterbatasan. Justru keterbatasan itulah yang membuatnya bisa rileks dan mengasah energi kreativitas hingga menulis lirik Komang, yang kata soerang kawan, bisa bikin orang lain jatuh cinta berkali-kali.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anak muda Kepulauan Buton yang tampil ke pentas hiburan nasional. Sebelum Raim Laode, ada nama-nama seperti Fildan di pentas musik dangdut, Waode Heni di ranah musik pop, juga Ari Kriting yang sukses di pentas komedi, lagu menjadi aktor papan atas.
Mereka tumbuh dari nol, dari ekosistem kreatif di daerah Mereka tidak perlu meniru-niru logat Jakarta, tetapi memakai akses khas Buton dan Wakatobi, yang familiar di timur Indonesia, lalu menjadi identitasnya. Mereka tampil apa adanya, sesuatu yang kemudian membuat mereka punya karakter lokal yang kuat.
Keping Inspirasi
Yang menarik, inspirasi kreatif itu muncul dari realitas di sekelilingnya. Sebagai komika, Ari Kriting dan Raim Laode tampil dengan tema-tema segar khas Indonesia timur. Mereka menyoal jalan rusak, listrik yang sering mati, ketiadaan sinyal, hingga stereotype orang Jakarta terhadap orang timur.
Ya, Raim sering menyampaikan kritik atau sindiran pada orang-orang Jakarta dalam melihat orang Timur. Dia menjadikan dirinya sebagai bahan olok-olok, sembari menyelipkan pesan-pesan cerdas di baliknya.
Sering dia membahas kulit gelap, yang dipandang rendah oleh masyarakat di belahan barat yang berkulit lebih terang. Dalam satu penampilan di StandUp, dia pernah bilang: “Kamu akan diolok karena kurang putih. Tapi ada kelebihanmu yakni lebih hitam. Susah dapat cewek karena cewek kota tidak mau dengan pemuda berkulit redup.”
Ini sindiran telak bagi bangsa kita yang puluhan tahun dijajah oleh mereka yang berkulit terang, lalu memandang pemilik kulit terang sebagai pemilik kasta lebih tinggi.
Lihat saja bagaimana pihak korporasi memanfaatkan anggapan terhadap kulit terang itu dengan meluncurkan berbagai produk pemutih. Lihat saja layar kaca kita yang didominasi mereka yang terang. Sementara kulit gelap identik dengan kampungan, dianggap selalu bekerja di bawah terik matahari, dipandang hina.