Begitu membaca putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022, yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun, saya berpendapat: inilah putusan MK yang merupakan bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024.
Denny Indrayana, Melbourne
SUDAH saya sampaikan dalam banyak kesempatan, bahwa saat ini penegakan hukum hanya dijadikan alat untuk menguatkan strategi pemenangan pemilu, khususnya Pilpres 2024.
Ada dua norma UU KPK yang diubah melalui putusan MK tersebut. Satu, bahwa syarat minimal menjadi pimpinan KPK bukan hanya minimal 50 tahun, tetapi juga bisa diikuti bagi yang sudah pernah menjabat (incumbent).
Melalui putusan demikian, Nurul Gufron bisa mengikuti lagi seleksi Pimpinan KPK meskipun belum berumur 50 tahun, karena saat ini sudah menjabat sebagai komisioner KPK.
Atas putusan demikian, semua hakim sepakat, termasuk Hakim Konstitusi Saldi Isra, meskipun mengajukan alasan berbeda atau concurring opinion.
Atas masalah batas umur minimal ini, persoalannya lebih sederhana, dan hanya menunjukkan inkonsistensi dari putusan-putusan MK sebelumnya, bahwa soal syarat umur adalah open legal policy.
Artinya, dibebaskan kepada politik hukum pembuat undang-undang untuk merumuskan dan menentukan norma hukumnya.
Yang lebih problematik adalah soal kedua, bahwa masa jabatan pimpinan KPK berubah dari awalnya hanya 4 tahun menjadi 5 tahun. Itu artinya masa jabatan pimpinan KPK sekarang Firli Bahuri Cs yang kebanyakan berakhir di Desember 2023, karena dilantik Desember 2019, mendapatkan ekstra tambahan waktu 1 satu tahun alias mendapatkan ”gratifikasi perpanjangan masa jabatan”, melalui putusan MK ini.
Putusan atas norma ini membelah MK dengan empat hakim memberikan dissenting opinion, yaitu: Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adam, dan Enny Nurbaningsih
Akan ada isu hukum, apakah putusan MK demikian berlaku bagi Firli Cs, artinya berlaku retroaktif? Saya berpandangan secara hukum, norma masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun itu berlaku sejak putusan MK dibacakan hari ini, sehingga masa jabatan beberapa pimpinan yang sedang menjabat, dari awalnya 4 tahun berakhir di Desember 2023, akan berubah menjadi 5 tahun, dan berakhir di Desember 2024.
Lalu kenapa perubahan masa jabatan menjadi 5 tahun itu adalah bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024? Karena, ada kasus-kasus di KPK yang perlu ”dikawal”, agar tidak menyasar kawan koalisi, dan diatur dapat menjerat lawan oposisi Pilpres 2024.
Jika proses seleksi tetap harus dijalankan saat ini, dan terjadi Pimpinan KPK di Desember 2023, maka strategi menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan, dan memukul lawan itu berpotensi berantakan. Terlebih jika pimpinan KPK yang terpilih, tidak sejalan dengan grand design strategy pemenangan Pilpres 2024 tersebut.
Tentu, akan lebih aman jika pimpinan KPK yang sekarang diperpanjang hingga selesainya Pilpres di 2024. Oleh karena itu, putusan MK yang mengubah masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun, sudah memenuhi kepentingan strategi Pilpres yang menjadikan kasus hukum di KPK sebagai alat tawar politik (political bargaining) penentuan koalisi dan paslon capres-cawapres Pilpres 2024. (*)
Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Lawfirm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia
=============================
Catatan ini tidak mewakili pandangan redaksi dan sepenuhnya tanggung jawab penulis.