Indonesia Punya Cerita

Politik Etis: Balas Budi atau Bikin Rugi?

Kebijakan tersebut dinamakan politik etis alias politik balas budi. Namun, benarkah kebijakan tersebut betul-betul mensejahterakan Indonesia?

Featured-Image
Ilustrasi penerapan pilitik etis di era kolonialisme. Foto: Sumber Sejarah.

bakabar.com, JAKARTA - Politik. Satu topik yang berpotensi jadi intrik. Silang pendapat soal ini bahkan bisa memicu kegaduhan di tengah publik.

Sebagaimana yang pernah menimpa Belanda pada abad ke-20 silam. Tak semua warganya bahagia dengan kemakmuran yang menyelimuti Negeri Kincir Angin, mengingat itu diperoleh melalui cara tak manusiawi.

Kritik demi kritik terus berdatangan dari berbagai kalangan. Salah satunya, dari seorang politikus sekaligus ahli hukum, Conrad Theodore van Deventer.

Melalui tulisan berjudul Een Eereschuld yang dipublikasikan di koran De Gids pada 1899, Deventer melayangkan tamparan keras untuk pemerintah di negaranya.

Dia mengkritisi sikap Belanda yang ribuan tahun menghisap kekayaan Nusantara tanpa menghiraukan kesejahteraan warganya. Tulisan iu sempat menimbulkan kericuhan di tengah masyarakat, sebelum akhirnya sampai ke meja parlemen.

Pieter Brooshooft, wartawan Belanda menghabiskan hidupnya mengelilingi Indonesia, juga menampar parlemen dengan kritik serupa.

Lewat buku berjudul Memorie over den toestand in indie, Brooshooft menggugat parlemen Belanda hingga mendorong adanya keadilan kepada rakyat Hindia Belanda – sebutan untuk Indonesia kala itu. 

Kritik yang demikian, akhirnya, membawa secercah harapan bagi Indonesia. Sindiran itu berhasil membuat Belanda mencetuskan kebijakan untuk mensejahterakan Nusantara. 

Kebijakan tersebut dinamakan politik etis alias politik balas budi. Namun, benarkah kebijakan tersebut betul-betul mensejahterakan Indonesia?

What happens in East Indies, stays in East Indies

Politik etis merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat kolonial—dalam hal ini adalah bangsa Indonesia.

Kebijakan itu lahir dari rasa ‘tanggung jawab’ Belanda usai ribuan tahun memeras keuntungan dari tanah Nusantara, sementara rakyat pribumi dibiarkan sengsara lagi menderita.

Sebut saja, tanam paksa, yang begitu mencekik pribumi. Kebijakan ini bahkan telah merenggut nyawa yang jumlahnya tak terhitung lagi.

Penderitaan yang demikian, semula, tak pernah digubris para petinggi Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda di negeri asalnya pun tidak tahu-menahu tentang peristiwa ini, sebab ada ungkapan yang berbunyi, “What happens in East Indies, stays in East Indies.”

Bak pepatah sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga; kabar mengenai ini terdengar sampai ke telinga Ratu Wilhelmina I.

Sang Ratu lantas memerintahkan untuk membalas budi pribumi atas perjuangan dan penderitaan yang mereka alami. Namun, kebijakan ini tak serta-merta diterima politisi Belanda.

Berbagai pro-kontra yang melibatkan konflik antara golongan humanis dan golongan liberal di parlemen Belanda, senantiasa menyelimuti kebijakan balas budi. Namun, pada 17 Desember 1901, Ratu Wilhelmina I tetap memberlakukan politik etis.

Trias Etika dan Segala Penyimpangannya

Politik etis akhirnya berhasil diterapkan di Indonesia. Selain sebagai balas budi, kebijakan ini juga mengemban misi 'meningkatkan kedudukan hukum masyarakat adat Umat Kristen di Hindia Belanda.'

Politik etis sendiri memuat tiga program. Kebijakan yang juga disebut Trias Etika itu meliputi edukasi, irigasi, dan transmigrasi.

Edukasi

Edukasi merupakan program politik etis yang memberikan akses pendidikan oleh masyarakat bumiputera. Kebijakan ini diharapkan bisa melahirkan kesetaraan atau emansipasi.

Terdengar mulia, bukan? Faktanya, kebijakan ini justru dibuat untuk ‘mengeksploitasi’ otak rakyat Indonesia. Bukannya mencerdaskan, kolonial malah bertujuan mendapat pekerja terdidik guna memenuhi kebutuhan pegawai rendahan bergaji kecil.

Program ini pun tak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, melainkan hanya kalangan pribumi berada. Contohnya, Sekolah Kelas Satu (ongko siji) yang merupakan sekolah khusus anak-anak priyayi. Sekolah ini memberikan pelajaran bahasa Belanda dengan waktu belajar 6 tahun.

Sedangkan, anak-anak biasa mengenyam pendidikan di Sekolah Kelas Dua (ongko loro). Sekolah ini hanya mengajarkan materi dasar menulis, membaca dan berhitung, tanpa memberikan pelajaran bahasa Belanda.

Program edukasi kian runyam usai Pemerintah Belanda berupaya melakukan westernisasi lewat pendidikan. Kala itu, kebijakan ini ditolak mentah-mentah karena dianggap tidak sejalan dengan adat istiadat Indonesia.

Hingga akhirnya, pada dekade pertama abad ke-20, politik etis di bidang pendidikan melahirkan kaum terpelajar perintis putra bumi. Mereka mulai menyadari kebanggaan dan kehormatan bangsanya.

Irigasi

Keberadaan pengairan yang baik sangatlah vital bagi pertanian dan perkebunan. Tanpa pengairan yang baik, keberlangsungan perkebunan dapat terancam.

Sebagai bentuk balas budi, dicetuskanlah ide irigasi untuk membantu mengurus perkebunan. Lagi-lagi, fakta di lapangan tak semulus yang diharapkan. Program irigasi justru berakhir mengairi perkebunan para tuan Belanda, bukan milik rakyat Indonesia. 

Transmigrasi

Pulau Jawa saat itu dianggap sudah terlalu padat, sehingga tercetuslah ide untuk mengadakan transmigrasi. Ini ditujukan untuk memindahkan orang-orang dari Jawa ke daerah lain yang masih sepi penduduk. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang layak. 

Sayangnya, ide tersebut tinggal sebuah angan-angan. Program transmigrasi malah dimanfaatkan oleh para pemilik perkebunan untuk mendatangkan buruh murah dari pulau Jawa. 

Hikmah di Balik 'Kerugian'

Ide-ide Van Deventer tidak terealisasi dengan baik. Politik balas budi yang semula ditujukan mensejahterakan, justru malah mencekik rakyat Indonesia. 

Kendati begitu, tak dapat dipungkiri bahwa politik etis tetap membawa sejumlah kemajuan bagi Tanah Air. Salah satunya, dibangun infrastruktur yang hingga saat ini masih dirasakan manfaatnya.

Beberapa infrastruktur tersebut adalah bendungan dan rel kereta api. Rel kereta yang biasa dilalui sekarang merupakan warisan dari politik etis. Begitu pun dengan bendungan, yang sampai kini digunakan sebagai tempat penampungan air.

Selain itu, politik etis juga melahirkan modernisasi masyarakat perkotaan. Berkat adanya akulturasi, rakyat Indonesia mulai gemar berpakaian seperti orang Eropa dan suka berpesta.

Tak kalah penting, politik etis mencetuskan golongan terpelajar yang akhirnya memulai pergerakan nasional. Golongan ini berani melawan balik kebijakan Belanda, sehingga bisa dibilang politik etis menjadi bumerang bagi kolonial.

Editor


Komentar
Banner
Banner