"Herlan mengamuk," ujar Istri Herlan kepada Didi yang saat itu sedang asyik mencabut uban di pintu rumahnya.
Rumah keduanya hanya terpisah oleh jalan saja. Hanya, rumah Didi agak menjorok ke dalam.
Tak lama berselang, datang Herlan dengan parang terhunus. Gelagatnya, ia tampak dalam pengaruh minuman keras.
"Sudah jangan ribut-ribut, malu dilihat tetangga," ujar Didi seraya menenangkan Herlan.
Tak disangka, Herlan malah menebaskan parangnya ke tengkuk belakang leher, pinggang, hingga bahu Didi.
Usai menghabisi Didi, Herlan kembali pulang. Berselang kemudian, jejaknya menghilang di hutan belakang rumahnya.
Sementara, Didi tergeletak bersimbah darah. Teriakan istri Didi lalu menggegerkan warga yang sedang menggelar hajatan pernikahan tak jauh dari rumahnya.
Seorang warga yang berada di hajatan pernikahan sempat berpapasan dengan Herlan.
Kala itu Herlan berkata, "Ayo dan lihat, Didi sudah kubunuh."
Didi sejatinya sempat dilarikan warga ke puskesmas terdekat. Nahas, nyawanya tidak tertolong lantaran kehabisan darah.
Didi meninggalkan seorang istri dan anak yang masih berusia 9 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi orang tuanya.
"Ibu dan bapak saya sudah tua. Sakit-sakitan memikirkan pembunuh adik saya belum juga tertangkap," jelas Yayar Safari, Kakak Kandung Didi kepada bakabar.com, Kamis (26/8).
Lantas, apakah jika Didi tertangkap pihak keluarga akan memaafkan Herlan?
"Maaf, pintu sudah tertutup untuk Herlan," jelas Yayar.
Didi, kata Yayar selama ini dikenal sebagai pribadi yang baik. Meski hidup serba kekurangan, ia kerap membantu tetangganya.
"Adik saya setelah mengalami kecelakaan, tidak bisa bekerja berat lagi," ujarnya.
Didi juga dikenal tidak pernah berbuat masalah. Lain halnya Herlan yang dikenal suka menantang berkelahi warga jika mabuk.
Perangai buruk tersebut diperkuat dengan status Herlan yang merupakan seorang residivis.
2011 silam, Herlan membunuh seorang warga bernama Mansyah saat bekerja sebagai pendulang emas di Hampang, Kotabaru.
Saat itu, Herlan dituduh korban dan keempat rekannya mencuri sebuah dompet di warung kopi.
Herlan yang dikeroyok keempatnya berhasil selamat. Saat diamankan di kediamannya, polisi menemukan Herlan dalam keadaan bersimbah darah dengan 17 mata luka di sekujur tubuhnya.
Kaget bukan kepalang saat pagi harinya polisi menemukan sesosok jasad di belakang rumah yang ditinggali Herlan. Jasad itu belakangan diketahui adalah Mansyah, salah seorang pengeroyok Herlan.
Selesai menjalani hukuman penjara di Lapas Kotabaru, dua tahun kemudian Herlan kembali muncul di Desa Gambah.
Ia lalu mempersunting seorang perempuan asal Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya, Herlan bekerja serabutan. Kadang menjadi tukang bangunan, kadang lagi pemetik buah kelapa.
Sementara, Didi sendiri dikenal sebagai sosok yang baik dalam pergaulan sehari-hari.
"Adik saya ini orang baik, kalau Herlan tak ada beras datang minta. Tak ada bawang minta. Tak ada sayur minta. Selalu dikasih sama adik saya," cerita Yayar, kakak kandung Didi Rahman, korban pembunuhan di Gambah, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kepada bakabar.com, Selasa (14/9).
Untuk menghidupi, istri dan seorang anaknya, Didi mengandalkan hidup dari beternak ayam.
"Kalau tidak ada uang, ya dijual untuk belanja sehari-hari. Adik saya kan juga dapat PKH (Bantuan keluarga harapan). Ya diirit-irit untuk makan sebulan," ujar Yayar.
Pasca-kecelakaan yang menimpanya beberapa tahun lalu, Didi menderita cedera di bagian pinggang.
Kecelakaan itu tak hanya membuat pinggangnya bengkok, tapi juga membuat lehernya tak bisa menoleh ke belakang.
"Jika mau menoleh ya dengan badan, setelah kecelakaan itu, adik saya tidak bisa bekerja berat," ujar Yayar.
Didi anak kedua dari tiga bersaudara. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai pribadi yang baik.
"Ya namanya orang baik, sekalipun kecelakaan ditabrak orang juga gak nuntut ganti rugi," ujar Yayar. "Di tengah keterbatasannya, dia selalu perhatian. Kalau aku gak punya uang, almarhum punya uang, ya dibantunya."
Sepeninggal Didi, istri dan anaknya harus tinggal bersama sang mertua yang bekerja sebagai buruh bangunan.
"Sekarang mereka berkumpul semua bersama kami, mau ke mana lagi? abah kadang ada kerjaan, kadang juga gak ada, uang sejuta kami irit-irit untuk hidup sebulan," ujarnya.
Lantas, bagaimana dengan kondisi anak korban yang berusia 9 tahun? Yayar bilang si anak juga masih trauma.
"Kalau anak almarhum itu, kalau orang cerita waktu kejadian [pembunuhan] selalu menutup telinga. Seakan gak mau dengar. Karena selalu teringat," jelasnya.
Sementara, pasca-kepergian anaknya itu, orang tua Didi kerap sakit-sakitan. Memikirkan pembunuh anaknya yang tak kunjung tertangkap.
"Kadang hati ini rasa disayat-sayat kalau lagi duduk-duduk sendirian," ujarnya.
Dilengkapi oleh HN Lazuardi