bakabar.com, JAKARTA – Pewarna makanan karmin terbuat dari serangga Cochineal, apakah halal?
Pewarna makanan dari karmin atau carmine sedang hangat jadi perdebatan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menghalalkannya, tapi Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur menyatakan pewarna makanan dari serangga tersebut adalah haram.
"Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (karmin) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi'i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi'iyah," begitu disampaikan oleh Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim Romadlon Chotib seperti dikutip bakabar.com di laman resmi NU Jatim.
Beberapa produk makanan maupun kosmetik yang barwarna merah atau merah muda, memang terlihat sangat menarik. Tapi rupanya pewarna tersebut sering kali menggunakan apa yang disebut sebagai pewarna karmin.
Melansir Dr. Axe (29/9), pewarna karmin, yang juga dikenal sebagai ekstrak cochineal, adalah pewarna yang umumnya digunakan dalam berbagai produk makanan untuk memberikan warna merah.
Penting untuk dicatat bahwa selain karmin, ada juga jenis pewarna merah lain seperti indigo carmine yang menggunakan asam karminat, tetapi tidak berasal dari serangga cochineal.
Apakah Halal di Indonesia?
Rupanya pewarna karmin menjadi perdebatan antara MUI dan NU Jatim, lantas apakah pewarna karmin halal?
Melansir laman resmi Halal MUI, Cochineal adalah serangga yang memiliki banyak kesamaan dengan belalang, dan darahnya tidak mengalir. Pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal dianggap halal selama pewarna tersebut memiliki manfaat dan tidak menimbulkan bahaya.
Industri makanan dan minuman sering menggunakan pewarna alami yang dikenal sebagai carmine (karmin). Pewarna alami ini dihasilkan dari serangga atau jenis kutu daun yang disebut cochineal, yang kemudian dihancurkan untuk mendapatkan pigmen pewarna.
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si, menjelaskan mengenai kehalalan karmin dengan merujuk pada bahan dasarnya, yaitu cochineal. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), karmin dianggap halal, dan hal ini dibuktikan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
Pada tahun 2011, MUI mengeluarkan Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011, yang menjelaskan bahwa serangga cochineal hidup di atas kaktus, mengonsumsi kelembaban dan nutrisi tanaman.
Cochineal memiliki banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir. Oleh karena itu, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal dianggap halal, asalkan memberikan manfaat dan tidak membahayakan.
Muti Arintawati juga memberikan peringatan bahwa penggunaan pewarna memerlukan bahan tambahan seperti pelarut, pelapis, dan pengemulsi untuk menjaga kecerahan, ketahanan warna, dan stabilitas.
Bahan-bahan tambahan tersebut dapat berasal dari sumber hewan, seperti gelatin dari hewan atau turunan asam lemak dari lemak hewani. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa bahan tambahan tersebut berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal.
Hal ini juga dijelaskan oleh Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr, yang merupakan dosen Ilmu dan Teknologi Pangan di IPB University dan seorang auditor halal untuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), menjelaskan bahwa karmin diproduksi dari serangga Cochineal (Dactylopius coccus) atau kutu daun yang hidup pada kaktus pir berduri (genus Opuntia).
Penting untuk dicatat bahwa dalam pandangan hukum Islam, penggunaan pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal dianggap halal selama masih memberikan manfaat dan tidak membahayakan kesehatan.