Oleh M. Rezky Habibi R
Tahun 2020 menjadi tahun yang sulit. Tidak hanya bagi Indonesia, tetapi hampir sebagian besar negara dibelahan dunia mengalami nasib yang sama ketika Corona Virus Diseases 19 (Covid-19) menerpa.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) paling tidak tercatat 215 negara dinyatakan positif terjangkit penyebaran Covid-19 dengan total 3.917.366 jiwa positif mengidap Covid-19 serta angka kematian yang mencapai 275.361 jiwa terkonfirmasi positif (WHO,10/05/2020).
Dalam konteks Indonesia berdasarkan data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, tercatat 14.032 jiwa positif dengan total angka kematian sekitar 973 jiwa (www.covid19.go.id,10/05/2020). Deretan angka-angka yang dirilis disetiap sore hari tersebut tentu bukan sebagai pencapaian apalagi sebuah prestasi. Melainkan berupa bencana yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Kepres 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19.
Jika ditarik ke belakang, ketika awal Covid-19 masuk di Indonesia sempat muncul polemik yang menganggap lambannya respons pemerintah dalam melakukan penanganan. Hal tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah desakan agar pemerintah segara melakukan karantina wilayah untuk menutup pintu masuk penyebaran virus ini berdasarkan payung hukum UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kendati desakan tersebut akhirnya direspons pemerintah dengan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui PP 21 Tahun 2020 yang muatannya sarat akan sifat administratif hubungan pusat-daerah, di mana dalam kondisi upnormal hari ini tentu karakteristik administratif tersebut tidak tepat dengan kedudukan pemerintah pusat (menteri kesehatan) tak ubahnya hanya sebagai cap stempel untuk menyetujui atau menolak pemberlakuan PSBB yang diusulkan pemerintah daerah.
Sehingga terkesan penanganan covid-19 ini menjadi tanggungjawab masing-masing kepala daerah, bahkan pelaksanaan PSBB melalui peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum pada prinsipnya jauh sebelum terbitnya PP 21 Tahun 2020 disejumlah daerah sudah melakukan tindak tersebut dengan istilah populis lockdown antar kampung. Oleh sebab itu, muncul pula anggapan PP 21 Tahun 2020 hanya sebagai legitimasi formal atas tindakan yang sudah dilakukan sejumlah Kepala Daerah.
Tak hanya PP 21 Tahun 2020 yang memunculkan polemik, pada saat bersamaan lahirnya Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, juga memunculkan polemik. Perppu yang diterbitkan sebagai upaya percepatan penanganan Covid-19 banyak mendapatkan kritik di sana-sini.
Dari aspek judul perppu-nya saja memunculkan pertanyaan: apakah yang menjadi permasalahan bangsa saat ini, pandemi Covid-19 ataukah stabilitas keuangan dan perekonomian negara? Dengan kata lain kesehatan masyarakat ataukah perekonomian bangsa persoalan yang harus dijawab hari ini?
Dengan judul perppu yang panjang berbeda dengan lazimnya perppu yang pernah terbit, biasanya hanya bersifat mengubah satu atau beberapa norma dalam sebuah UU, maka Perppu ini melalui pasal 28 mengubah beberapa norma dibanyak sekali UU. Itu sebabnya Perppu ini bercita rasa omnibus law.
Dalam catatan penulis setidaknya terdapat 8 UU yang diubah dan diintervensi oleh Perppu sapu jagat ini, yaitu UU MD3, UU Keuangan Negara, UU Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Penjaminan Simpanan, UU Surat Utang Negara, UU Bank Indonesia, dan UU APBN 2020.
Dari 8 UU tersebut yang menarik adalah UU MD3 dan UU APBN, di mana mengamputasi wewenang DPRcmembahas revisi APBN dalam konteks penanganan covid-19. Padahal dalam tataran hierarki norma, pasal 23 Konstitusi mensyaratkan keterlibatan DPR dalam penyusunan maupun pembahasan APBN.
Berdasarkan penalaran yang wajar, ratio legis dari keterlibatan DPR tersebut merupakan bentuk kuasa rakyat sebagai pemegang daulat kekuasaan. Sehingga setiap tindak-tanduk tindakan yang dilakukan pemerintah melalui uang rakyat yang disetor lewat pajak negara mesti harus melalui persetujuan DPR sebagai penjelmaan segenap rakyat Indonesia.
Selain itu, perppu cenderung hanya mengatur masalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. formulasi perppu bahkan dikemas sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menyelamatkan stabilitas ekonomi nasional akibat dari covid-19.
Dalam bahasa sederhana, Perppu 1 Tahun 2020 lebih mengarah pada sifat antisipasi krisis keuangan atau perekonomian ditengah covid-19 dibandingkan menjawab persoalan wabah pandemi covid-19 itu sendiri. Misalkan saja jika ditelisik pasal-perpasal tak terdapat satu pun yang mengatur tentang alat pelindung diri (APD) dan alat rapid test yang hari ini menjadi barang langka bagi dokter dan tenaga medis dalam menangani wabah ini.
Dalam pada itu, polemik juga muncul dengan adanya ketentuan pasal 27 ayat (1) yang mengatur tentang segala pembiayaan yang dikeluarkan Pemerintah dan lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dalam menanggulangi covid-19 bukanlah merupakan kerugian negara.
Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang dapat memastikan jika dana yang berjumlah triliunan tersebut tidak menimbulkan abuse of power yang dapat mengarah pada timbulnya kerugian negara dalam pelaksanaannya? Lain halnya jika para malaikat yang mengisi dalam jajaran pemerintah tersebut tentu kekhawatiran itu tidak akan muncul.
Apalagi dengan kekebalan hukum yang diberikan pasal 27 ayat (2) kepada anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya, untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Bahkan kekebalan hukum atau hak imunitas tersebut menjadi paripurna dengan adanya ketentuan pasal 27 ayat (3), dimana tindakan pemerintah melalui beschikking (keputusan) yang diambil berdasarkan perppu ini juga bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan di peradilan tata usaha negara.
Hal tersebut tentu menciderai nilai esensi dari hukum itu sendiri bahwa semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum, tidak ada yang memiliki keistimewaan maupun diistimewakan sebagaimana asas equality before the law yang dikenal dalam ilmu hukum.
Sebagai bangsa yang mendeklarasikan diri negara hukum dalam pasal 1 ayat (3) Konstitusi, tentu saja logika hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana tersebut sulit untuk dinalar, karena konsekuensi logis dari dianutnya konsep negara hukum maka pada saat bersamaan juga menganut asas equality before the law.
Mengingat Presiden sekalipun dengan kedudukan pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif tidak memiliki kekebalan hukum jika terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A Konstitusi. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan teori jenjang norma Hans Kelsen, maka keberadaan perppu seakan memiliki kedudukan secara hirarki lebih tinggi dari pada Konstitusi karena mengabaikan sejumlah norma yang terkandung di dalam Konstitusi itu sendiri.
Selain itu, dalam khazanah ilmu hukum dikenal salah satu ciri negara hukum mensyaratkan adanya peradilan tata usaha negara. Pentingnya keberadaan peradilan tata usaha negara tersebut merupakan upaya untuk melindungi hak warga negara dari tindakan administratif pemerintah melalui pengambilan beschikking (keputusan) yang dirasakan merugikan hak warga negara. Dengan kata lain, peradilan tata usaha negara tersebut sebagai kontrol agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam membuat kebijakan dalam hal ini beschikking (keputusan).
Meniadakan tindakan pemerintah sebagai objek yang dapat digugat ke peradilan tata usaha negara, maka sama halnya dengan mengingkari konsep negara hukum yang dianut Indonesia. Bahkan dalam teori negara hukum, tidak boleh satu detik pun tindakan pemerintah yang melanggar hukum, maka tindakan tersebut harus diuji melalui lembaga pengadilan.
Problem Perppu, Titik Singgung DPR dan Mahkamah Konstitusi
Sejak berlakunya perppu pada tanggal 31 maret 2020 kemarin maka berdasarkan pasal 22 ayat (2) Konstitusi, perppu harus mendapat persetujuan DPR agar dapat berganti jubah menjadi UU. Dalam perkembangan hari ini perppu sudah dibahas di DPR dan tinggal menuju satu langkah untuk disetujui menjadi UU pada rapat paripurna DPR 12 mei mendatang jika tak ada aral (Kontan.co.id, 10/05/2020).
Di saat bersamaan perppu juga sedang di uji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi melalui register perkara No.23/PUU-XVIII/2020 yang dianggap banyak melabrak prinsip negara hukum.
Adanya 2 institusi pada waktu bersamaan menguji perppu secara politik dan hukum menjadi problem klasik sejak Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.138/PUU-VII/2009 menyatakan berwenang menguji perppu.
Problem itu tidak terlepas dari kejar-kejaran waktu antara DPR dan Mahkamah Konstitusi dalam menguji perppu tersebut. Jika DPR secara politik terlebih dulu mengetuk palu persetujuan perppu menjadi UU, maka niscaya Mahkamah Konstitusi akan menghentikan pengujian tersebut karena perppu sudah kehilangan objek. Pada titik inilah kepastian hukum menjadi terabaikan, kendati perppu yang telah menjadi UU itu masih dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi, tentu ini menjadi tidak efisien.
Oleh karena itu maka, menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi memiliki hukum acara tersendiri perihal uji materi Perppu. Mengingat berbeda dengan uji materi UU yang tanpa limitasi waktu, uji materi perppu mestinya membutuhkan jangka waktu terukur untuk diputus dalam konteks kepastian hukum akan waktu. Hal ini mengingat kesementaraan berlakunya perppu. Ini supaya tak ada justice delayed is justice denied, terlambat memberi keadilan adalah bentuk lain ketidakadilan, dalam perkara ini.
Kalaupun hukum acara uji materi perppu belum dapat diadakan dalam tempo segera, khususmya memberikan limitasi waktu Mahkamah Konstitusi memutus, maka sementara ini cukup bagi penulis 9 Hakim Konstitusi untuk bersama niat dalam hati, bersepakat, ditambah komitmen kolektif untuk menuntaskan perkara perppu dengan segera.
Akhir tulisan ini, mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi semakin tertantang untuk menaklukkan "speedy trial challenge". Pada gilirannya, melalui "speedy trial challenge" ini, perkara uji materi Perppu Covid-19 akan menjadi momentum bagi Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara tuntas dan terbuka mengapa dulu Mahkamah Konstitusi, melalui putusan No.138/PUU-VII/2009 menyatakan diri berwenang menguji perppu. Tentu saja kita menginginkan Mahkamah Konstitusi tidak sekedar berwenang menguji perppu akan tetapi juga pada sampai memutus uji materi perppu melalui ketuk palu Hakim Mahkamah Konstitusi.
*
Penulis adalah mahasiswa Magister Hukum ULM dan Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi)