bakabar.com, JAKARTA - Per Januari 2023, aturan ekspor minyak sawit bakal diperketat pemerintah. Salah satu pengetatan itu adalah dengan mengurangi rasio pengiriman ke luar negeri untuk setiap ton sawit yang dijual di dalam negeri.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso mengatakan eksportir akan diizinkan untuk mengirimkan enam kali lipat volume penjualan, lebih rendah dari rasio saat ini sebanyak delapan kali lipat.
"Ini sebagai langkah preventif terhadap potensi kenaikan harga minyak goreng dalam negeri karena permintaan yang meningkat pada bulan Ramadan dan Idul Fitri yang akan turun pada Maret dan April 2023," kata Budi, dilansir CNN Indonesia yang mengutip CNA, Jumat (30/12).
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan langkah tersebut ditujukan khusus untuk mengamankan pasokan dalam negeri pada kuartal I 2023.
Seto mengatakan pemerintah akan terus mengevaluasi rasio ekspor secara berkala dengan mempertimbangkan ketersediaan dan harga minyak goreng.
Akibat kebijakan tersebut, harga minyak sawit berjangka Malaysia melonjak pada Jumat (30/12) dan mencapai level tertinggi sejak 1 Desember pada 4.193 ringgit atau setara US$950,79 per ton.
Sebelumnya, kebijakan ini berkaca dari sengkarut masalah minyak goreng yang terjadi pada awal 2022. Saat itu, harga minyak goreng melambung tinggi dan pasokan cukup langka di pasaran.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan kekhawatiran disampaikan dalam pertemuan dengan pemerintah pekan lalu tentang pasokan minyak goreng, terkait program biodiesel pemerintah, dan ekspektasi penurunan produksi minyak sawit pada kuartal pertama.
Dalam hal ini, ia mengatakan pemerintah berencana meningkatkan komponen wajib minyak sawit dalam biodiesel menjadi 35 persen mulai 1 Februari 2023.
Sementara terkait rasio ekspor, Eddy mengatakan hal tersebut perlu dievaluasi secara berkala dalam jangka pendek untuk menghindari kelebihan pasokan."Kalau ternyata ramalannya salah dan hasilnya tidak turun drastis, harus dievaluasi, kalau tidak tandan buah segar akan menumpuk lagi di pabrik dan ini akan membuat petani marah," kata Eddy.